Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ady Akbar. Universitas Haluoleo Kendari- Sulawesi Tenggara. CP: 085242400515

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialektika Bebas Nilai (Tentang Cinta)

24 Juli 2016   14:34 Diperbarui: 24 Juli 2016   14:44 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagian Pertama

Aku ingin telanjang, membuka diri dari setumpuk jubah kebohongan. Aku ingin sekali telanjang, membuka nalar dari batas-batas nilai yang ada sebagaimana Nietzsche membebaskan diri dari prinsip rasio yang salah. Di awal ini, aku ingin mengingatkan ucapan Imam Asy-Syafi’ie. Begini bunyinya: Kebenaran dalam pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pendangan orang lain; dan kesalahan dalam pandangan orang lain mengandung satu kebenaran dalam pandanganku.

Saya ingin memulai dari sini, dari logika sederhana seorang kawan. Katanya: jika manusia dengan sepenuh hati mengakui ke-Ada-an dan  kebesaran Tuhan. Maka mau tidak mau, manusia itu harus mengakui dirinya bahwa ia adalah manusia yang bodoh. Singkat kata, manusia yang mengakui KEBESARAN Tuhan adalah manusia yang BODOH. Nalar pikirnya seperti ini, jika kau mengatakan bahwa Tuhan Maha Besar, maka ini berarti Tuhan Maha Berilmu dan Maha Mengetahui. Jika demikian, ilmu Tuhan tidaklah sebanding dengan manusia yang memiliki sedikit ilmu (bodoh) sebagaimana beberapa ayat Al-quran menyebutnya.

Aku ingin menegaskan, sekali-sekali jangan kau terjebak dalam makna bahasa. Terlebih lagi jika kau terlena dengan ekspresi simbol linguistik yang tidak lain adalah endapan tradisi yang abstrak. Aku ingin mengajak kita semua untuk saling telanjang, menembus nilai logika untuk menuju titik rasionalitas yang penuh makna. Jangan pula kau terlena dengan sebuah “kebenaran”. Aku ingin menyampaikan ini: FOKUSLAH PADA RASIONALITAS FRAME SEJARAH. Bukankah kebenaran masa kini adalah (mungkin) kesalahan di masa depan. Atau sebaliknya, kesalahan masa kini adalah kebenaran di masa depan. Atau kalau sebaliknya, kebenaran masa lalu adalah kesalahan masa kini. Kalau kau tidak sejalan dengan argumen demikian, maka kau harus mengakui bahwa “bumi ini datar” sebagaimana teori ini telah menjadi kebenaran di masa lalu. Padahal ia menjadi teori yang salah di masa kini

Aku ingatkan lagi bahwa fokuslah pada rasionalitas. Begini kasusnya: Kadang aku tidak sejalan dengan pemikiran banyak pemuka agama tentang kalimat syahadat dalam rukun islam. Katanya, “Kita harus mengucapkan dua kalimat suci itu”. Bukankah pemikiran  itu mendiskreditkan beberapa golongan? Bagimana kemudian dengan orang bisu? Maka dapatlah kita tarik kesimpulan dari dialektika ini bahwa kalimat syahadat adalah sebuah SUBSTANSI bukan sebuah FORMALITAS. Begitupula dengan Ijab Kabul Pernikahan, ini adalah susbtansi bukan formalitas.

Bersambung…

Dialektik Bebas Nilai

Bagian Kedua

Salah seorang kawan melempar tanya kepadaku. Kawan itu tampak kesengsem juga dengan filsafat islam. Begini bunyinya, “Dalam pandangan islam, pacaran itu haram karena ayat ‘janganlah kau mendekati zina’. Lantas bagaimana dengan persahabatan/pertemanan?”

Saya menjawab, jangan kau terjebak dalam makna kata. Saya melanjutkan, dalam satu sisi, pacaran maupun persahabatan adalah hal yang tidak boleh. Namun di sisi lain, pacaran maupun persahabatan adalah yang sangat diperbolehkan.

Aku memberikan contoh. Pertama, dalam konteks kultur Indonesia, pada umumnya pacaran itu seperti ini: jalan berdua dengan kekasih, entah ke mall atau ke pantai, atau indekos dan sebagainya. Maka  dalam konteks ini, aku ingin mengatakan bahwa inilah yang diharamkan. Wallahutaalaalam.

Kedua, dalam beberapa kasus. Sejumlah lelaki mengatakan manjalin PERSAHABATAN (bukan pacaran) dengan salah seorang perempuan. Atau sebaliknya, perempuan bersahabat dengan salah seorang lelaki. Walaupun hanya bersahabat, namun cara menjalin hubungan persahabatannya adalah: jalan berdua dengan kekasih, entah ke mall atau ke pantai, atau indekos. Maka  dalam konteks ini, aku juga ingin mengatakan bahwa PERSAHABATAN inilah yang diharamkan. Wallahutaalaalm.

Lantas dalam kondisi apa status pacaran dan persahabatn memiliki kadar kehalalan?

Terlebih dahulu aku ingin merunutkan bahwa kata “pacaran” tidak pernah kita temukan dalam bahasa arab, apalagi dalam Al-Quran. Dalam bahasa inggris pun juga tak ada  demikian. Kita hanya mengenal frase “Boy friend/Girl Friend” yang berarti teman laki-laki atau perempuan.

Budaya dan kata “pacaran” berasal dari kultur lama nusantara. Dalam adat istiadat tradisional, dikenal istilah “malam pacar” yang biasanya terjadi setelah akad nikah. Dalam konteks Indonesia masa kini, kata pacaran ini mendekati makna BULAN MADU yang dilaksanakan setelah menikah namun kini mengalami pergeseran makna dan disalahgunakan oleh kebanyakan orang. Maka dalam konteks ini, pacaran (berkasih-kasih) tentu saya tegaskan bahwa ini adalah tidak haram ketika ia dilakukan setelah akad nikah.

Dari ketiga contoh di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan dari undangnya hidup bahwa haram atau halalnya suatu hubungan bukan ditinjau dari MAKNA KATA, tetapi bagaimana kita menjalani hubungan tersebut dalam batas—batas tertentu.

Bersambung…

Dialektik Bebas Nilai

Bagian ketiga

Di bagian ini, aku ingin memuntahkan buah pikirku tentang al-muhabbah (cinta). Akan pula kusampaikan tentang nalar liarku yang selalu memberontak dan melawan batas-batas logika. Aku sebenarnya pemikir bebas yang tidak begitu bebas merekonstruksi pikiranku. Aku dibatasi oleh ketidakbebasan nalar. Dan aku dibatasi oleh nalar agama yang dilegitimasi dalam Al-Quran dan As-sunnah.

Di bagian ini, aku ingin mengajak kau berpikir bebas tentang cinta dalam konteks agamaku. Aku perlu menyampikan bahwa di dunia ini banyak hal yang imajiner, namun yang pasti adalah ia tetap berada di titik rasional. Hemat kata, ada beberapa hal yang tidak bisa didefinisikan di dunia ini, namun bukan berarti kita tidak bisa memahaminya. Begitupla tentang muhabbah (cinta). Ada pemikir yang mengatakan bahwa cinta tak bisa didefinisikan, namun walaupun demikian aku selalu optimis dan memastikan bahwa cinta bisa dipahami dengan akal-logika.

Mengawali ini, aku ingin mengajak kau untuk menalar definisi cinta dalam konteks Al-Qur’an. Aku sejalan dengan definisi yang diungkapkan Ibn Qayyim Aljauziah. Begini bunyinya: Cinta adalah keadaan dimana kita tunduk dan patuh terhadap apa kita cintai. Artinya, jika hari ini aku mengatakan cinta kepada seorang wanita namun aku selalu membantah atau tidak mengikuti apa yang wanita itu inginkan, maka secara hakiki itu bukanlah cinta. Begitu sebaliknya, jika hari ini aku berjanji dan mengatakan cinta kepada seseorang lantas di lain waktu aku melanggar janji dan mengatakan tidak lagi cinta, maka tentu itu bukanlah cinta yang sesungguhnya datang dari hati. Cobalah kau buka lembaran Al-Quran surah Al-Imran ayat 31 untuk memastikan tentang definisi ini.

Aku berbicara cinta yang subtansi di bagian ini. cinta yang sebenar-benarnya cinta. Cinta yang bersumber dari nurani hati. Aku menamainya cinta hakiki, bukan nafsu yang dibungkus dengan kata-kata penyejuk hati yang kemudian kau sebut dengan cinta. Bukan pula cinta yang melahirkan sakit hati lalu kau balut dengan bahasa bernada sendu dengan maksud untuk menormalkan kadar sakit hati.

Di bagian ini, kelak akan kuceritakan kisah Rabiatul Adawiah, salah seorang sufi islam yang memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup hanya kerena cintanya kepada sesuatu.

Mengawali ini, aku ingin membuktikan definisiku bahwa cinta yang substansi adalah cinta yang didasari dengan keikhlasan dan kesabaran. Aku ingin mengatakan bahwa cinta bukanlah tentang proses mencari yang sempurna namun tentang proses menerima kekurangan untuk menuju titik sempurna.

Aku ingin kau menilik Al Quran surah An-Nisa ayat 19, begini kutipan bunyinya “…Bergaullah dengan mereka (istri/kekasih) menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan banyak padanya.”

Aku juga teringat sebuah ayat di surah Al-Baqarah, begini maknanya, “terkadang kita menyukai sesuatu padahal ia tidaklah baik untuk kita. Sebaliknya, terkadang kita membenci sesuatu namun ia adalah baik untuk kita. Sungguh Allah maha mengetahui”

Dari dua kutipan tersebut, kiranya dapatlah kita pahami bahwa cinta adalah proses keikhlasan. Bukan tentang fisik, harta, atau nama. Karena jika kau mencari cinta yang sempurna, maka tak akan pernah kau temukan. Bukankah ayat di atas mengajarkan kita untuk menerima kekurangan sebagai embrio kesempurnaan?

Kini aku ceritakan kisah Rabiatul Adawiah, seorang perempuan sufi islam yang hingga akhir hayatnya memilih tidak menikah karena cintanya kepada Allah (satu). Mengapa demikian? Karena menurut Rabiatul Adawiah, CINTA ADALAH SATU. Karena itu, jika hari ini kau mengatakan cinta kepada seseorang, lantas di hari yang lain kau mengatakan cinta kepada seseorang yang lain, maka sama sekali itu bukanlah cinta, baik kepada orang pertama maupun kepada orang kedua.  

Adapula seorang kawan kuliah yang menyodorkan definisinya tentang cinta. Menurutnya, cinta itu tidak mengenal logika. Ia menceritakan tentang banyak kasus bunuh diri hanya karena cinta, atau lebih dari itu semua. Aku memberontak menolak definisi itu.

Nalarku menilai bahwa cinta/kasih sayang itu adalah anugerah. Maka cinta yang mendatangkan sakit hati, cinta yang berujung kematian, cinta yang membuat hati galau/kalut, maka yang demikian itu bukanlah cinta yang sesungguhnya. Bukankah anugerah itu harusnya membawa berkah?? Bukan sakit hati.

Jika kau tidak sejalan dengan nalarku, maka izinkan aku mengenalkan kau dengan salah satu ayat di surah Ar-Rum. Begini bunyinya: “….Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang”

Surah Ar-rum ayat 21 yang kau baca di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa cinta itu adalah yang mendatangkan ketenteraman hati. Bukan yang berujung pilu.

Sampailah aku di muara nalarku tentang cinta. Di bagian ini, ingin aku ceritakan kisah tentang Seokarno yang menikahi anak HOS Cokroaminoto, Inggit Garnasih, yang tidak lain adalah ibu kosnya sendiri yang kemudian menjadi istri pertamanya. Atau kisah lain Soekarno yang menikahi Fatmawati yang tidak lain adalah muridnya sendiri.

Dari dua kisah yang sebut di atas, apakah kau berpikir bahwa soekarno gila? Tidak memikirkan apa yang akan dikatakan oleh orang sekitarnya? Atau lebih dari semua itu?

Akan kuceritakan lagi tentang kisah cinta perdana menteri pertama Republik Indonesia, Sutan Sjahrir, yang menikahi seorang perempuan, yang tidak lain adalah bekas istri sahabatnya (bahkan teman satu kosnya ketika menuntut ilmu di negeri Belanda).

Dari kisah Sjahrir di atas, apakah kau berpikir bahwa ia telah gila karena menikahi mantan istri sahabatnya sendiri?

Aku ingin lantang mengatakan bahwa Soerkano dan Sjahrir tidaklah gila. Tetapi nalar kitalah yang tidak bisa membaca nalar mereka. Kau pasti tahu, bahwa sesuatu itu terkadang tidak bisa terlihat bukan hanya karena ia terlalu gelap, tetapi juga kadang karena ia terlalu terang. Begitulah kondisinya. Aku yakin bahwa Soekarno dan Sjahriri lebih mengerti makna cinta daripada aku, kau, dan kita semua.

Lantas, tidak pernahkah kau berpikir tentang kisah Muhammad SAW. Yang menikahi Aisya ra. yang pada saat itu masih berusia relatif muda. Yang kemudian membawa banyak komentar di kalangan banyak orang karena Rasulullah mempersunting perempuan usia muda.

Jika aku merujuk pada kisah Soekarno, Sjahrir, dan Muhammad. Maka kugariskan benang merah bahwa cinta yang susbtansi adalah cinta yang tidak menghiraukan cibiran orang kebanyakan selama itu masih dalam koridor kebenaran. Lantas mengapa kita harus malu dan minder kepada yang lain ketika kita berdiri pada titik kebenaran cinta? Lagipula, kita semua tahu bahwa semua orang punya masa lalu. Namun tak ingatkah kita dengan kalimat BJ Habibie kepada Ainun: ”Masa laluku adalah milikku. Masa lalumu adalah milikmu. Namun masa depan, adalah milik kita berdua.”.

#Wallahualambissawaf#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun