Aku berbicara cinta yang subtansi di bagian ini. cinta yang sebenar-benarnya cinta. Cinta yang bersumber dari nurani hati. Aku menamainya cinta hakiki, bukan nafsu yang dibungkus dengan kata-kata penyejuk hati yang kemudian kau sebut dengan cinta. Bukan pula cinta yang melahirkan sakit hati lalu kau balut dengan bahasa bernada sendu dengan maksud untuk menormalkan kadar sakit hati.
Di bagian ini, kelak akan kuceritakan kisah Rabiatul Adawiah, salah seorang sufi islam yang memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup hanya kerena cintanya kepada sesuatu.
Mengawali ini, aku ingin membuktikan definisiku bahwa cinta yang substansi adalah cinta yang didasari dengan keikhlasan dan kesabaran. Aku ingin mengatakan bahwa cinta bukanlah tentang proses mencari yang sempurna namun tentang proses menerima kekurangan untuk menuju titik sempurna.
Aku ingin kau menilik Al Quran surah An-Nisa ayat 19, begini kutipan bunyinya “…Bergaullah dengan mereka (istri/kekasih) menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan banyak padanya.”
Aku juga teringat sebuah ayat di surah Al-Baqarah, begini maknanya, “terkadang kita menyukai sesuatu padahal ia tidaklah baik untuk kita. Sebaliknya, terkadang kita membenci sesuatu namun ia adalah baik untuk kita. Sungguh Allah maha mengetahui”
Dari dua kutipan tersebut, kiranya dapatlah kita pahami bahwa cinta adalah proses keikhlasan. Bukan tentang fisik, harta, atau nama. Karena jika kau mencari cinta yang sempurna, maka tak akan pernah kau temukan. Bukankah ayat di atas mengajarkan kita untuk menerima kekurangan sebagai embrio kesempurnaan?
Kini aku ceritakan kisah Rabiatul Adawiah, seorang perempuan sufi islam yang hingga akhir hayatnya memilih tidak menikah karena cintanya kepada Allah (satu). Mengapa demikian? Karena menurut Rabiatul Adawiah, CINTA ADALAH SATU. Karena itu, jika hari ini kau mengatakan cinta kepada seseorang, lantas di hari yang lain kau mengatakan cinta kepada seseorang yang lain, maka sama sekali itu bukanlah cinta, baik kepada orang pertama maupun kepada orang kedua.
Adapula seorang kawan kuliah yang menyodorkan definisinya tentang cinta. Menurutnya, cinta itu tidak mengenal logika. Ia menceritakan tentang banyak kasus bunuh diri hanya karena cinta, atau lebih dari itu semua. Aku memberontak menolak definisi itu.
Nalarku menilai bahwa cinta/kasih sayang itu adalah anugerah. Maka cinta yang mendatangkan sakit hati, cinta yang berujung kematian, cinta yang membuat hati galau/kalut, maka yang demikian itu bukanlah cinta yang sesungguhnya. Bukankah anugerah itu harusnya membawa berkah?? Bukan sakit hati.
Jika kau tidak sejalan dengan nalarku, maka izinkan aku mengenalkan kau dengan salah satu ayat di surah Ar-Rum. Begini bunyinya: “….Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang”
Surah Ar-rum ayat 21 yang kau baca di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa cinta itu adalah yang mendatangkan ketenteraman hati. Bukan yang berujung pilu.