Kedua, dalam beberapa kasus. Sejumlah lelaki mengatakan manjalin PERSAHABATAN (bukan pacaran) dengan salah seorang perempuan. Atau sebaliknya, perempuan bersahabat dengan salah seorang lelaki. Walaupun hanya bersahabat, namun cara menjalin hubungan persahabatannya adalah: jalan berdua dengan kekasih, entah ke mall atau ke pantai, atau indekos. Maka dalam konteks ini, aku juga ingin mengatakan bahwa PERSAHABATAN inilah yang diharamkan. Wallahutaalaalm.
Lantas dalam kondisi apa status pacaran dan persahabatn memiliki kadar kehalalan?
Terlebih dahulu aku ingin merunutkan bahwa kata “pacaran” tidak pernah kita temukan dalam bahasa arab, apalagi dalam Al-Quran. Dalam bahasa inggris pun juga tak ada demikian. Kita hanya mengenal frase “Boy friend/Girl Friend” yang berarti teman laki-laki atau perempuan.
Budaya dan kata “pacaran” berasal dari kultur lama nusantara. Dalam adat istiadat tradisional, dikenal istilah “malam pacar” yang biasanya terjadi setelah akad nikah. Dalam konteks Indonesia masa kini, kata pacaran ini mendekati makna BULAN MADU yang dilaksanakan setelah menikah namun kini mengalami pergeseran makna dan disalahgunakan oleh kebanyakan orang. Maka dalam konteks ini, pacaran (berkasih-kasih) tentu saya tegaskan bahwa ini adalah tidak haram ketika ia dilakukan setelah akad nikah.
Dari ketiga contoh di atas, dapatlah kita tarik kesimpulan dari undangnya hidup bahwa haram atau halalnya suatu hubungan bukan ditinjau dari MAKNA KATA, tetapi bagaimana kita menjalani hubungan tersebut dalam batas—batas tertentu.
Bersambung…
Dialektik Bebas Nilai
Bagian ketiga
Di bagian ini, aku ingin memuntahkan buah pikirku tentang al-muhabbah (cinta). Akan pula kusampaikan tentang nalar liarku yang selalu memberontak dan melawan batas-batas logika. Aku sebenarnya pemikir bebas yang tidak begitu bebas merekonstruksi pikiranku. Aku dibatasi oleh ketidakbebasan nalar. Dan aku dibatasi oleh nalar agama yang dilegitimasi dalam Al-Quran dan As-sunnah.
Di bagian ini, aku ingin mengajak kau berpikir bebas tentang cinta dalam konteks agamaku. Aku perlu menyampikan bahwa di dunia ini banyak hal yang imajiner, namun yang pasti adalah ia tetap berada di titik rasional. Hemat kata, ada beberapa hal yang tidak bisa didefinisikan di dunia ini, namun bukan berarti kita tidak bisa memahaminya. Begitupla tentang muhabbah (cinta). Ada pemikir yang mengatakan bahwa cinta tak bisa didefinisikan, namun walaupun demikian aku selalu optimis dan memastikan bahwa cinta bisa dipahami dengan akal-logika.
Mengawali ini, aku ingin mengajak kau untuk menalar definisi cinta dalam konteks Al-Qur’an. Aku sejalan dengan definisi yang diungkapkan Ibn Qayyim Aljauziah. Begini bunyinya: Cinta adalah keadaan dimana kita tunduk dan patuh terhadap apa kita cintai. Artinya, jika hari ini aku mengatakan cinta kepada seorang wanita namun aku selalu membantah atau tidak mengikuti apa yang wanita itu inginkan, maka secara hakiki itu bukanlah cinta. Begitu sebaliknya, jika hari ini aku berjanji dan mengatakan cinta kepada seseorang lantas di lain waktu aku melanggar janji dan mengatakan tidak lagi cinta, maka tentu itu bukanlah cinta yang sesungguhnya datang dari hati. Cobalah kau buka lembaran Al-Quran surah Al-Imran ayat 31 untuk memastikan tentang definisi ini.