Bagian Pertama
Aku ingin telanjang, membuka diri dari setumpuk jubah kebohongan. Aku ingin sekali telanjang, membuka nalar dari batas-batas nilai yang ada sebagaimana Nietzsche membebaskan diri dari prinsip rasio yang salah. Di awal ini, aku ingin mengingatkan ucapan Imam Asy-Syafi’ie. Begini bunyinya: Kebenaran dalam pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pendangan orang lain; dan kesalahan dalam pandangan orang lain mengandung satu kebenaran dalam pandanganku.
Saya ingin memulai dari sini, dari logika sederhana seorang kawan. Katanya: jika manusia dengan sepenuh hati mengakui ke-Ada-an dan kebesaran Tuhan. Maka mau tidak mau, manusia itu harus mengakui dirinya bahwa ia adalah manusia yang bodoh. Singkat kata, manusia yang mengakui KEBESARAN Tuhan adalah manusia yang BODOH. Nalar pikirnya seperti ini, jika kau mengatakan bahwa Tuhan Maha Besar, maka ini berarti Tuhan Maha Berilmu dan Maha Mengetahui. Jika demikian, ilmu Tuhan tidaklah sebanding dengan manusia yang memiliki sedikit ilmu (bodoh) sebagaimana beberapa ayat Al-quran menyebutnya.
Aku ingin menegaskan, sekali-sekali jangan kau terjebak dalam makna bahasa. Terlebih lagi jika kau terlena dengan ekspresi simbol linguistik yang tidak lain adalah endapan tradisi yang abstrak. Aku ingin mengajak kita semua untuk saling telanjang, menembus nilai logika untuk menuju titik rasionalitas yang penuh makna. Jangan pula kau terlena dengan sebuah “kebenaran”. Aku ingin menyampaikan ini: FOKUSLAH PADA RASIONALITAS FRAME SEJARAH. Bukankah kebenaran masa kini adalah (mungkin) kesalahan di masa depan. Atau sebaliknya, kesalahan masa kini adalah kebenaran di masa depan. Atau kalau sebaliknya, kebenaran masa lalu adalah kesalahan masa kini. Kalau kau tidak sejalan dengan argumen demikian, maka kau harus mengakui bahwa “bumi ini datar” sebagaimana teori ini telah menjadi kebenaran di masa lalu. Padahal ia menjadi teori yang salah di masa kini
Aku ingatkan lagi bahwa fokuslah pada rasionalitas. Begini kasusnya: Kadang aku tidak sejalan dengan pemikiran banyak pemuka agama tentang kalimat syahadat dalam rukun islam. Katanya, “Kita harus mengucapkan dua kalimat suci itu”. Bukankah pemikiran itu mendiskreditkan beberapa golongan? Bagimana kemudian dengan orang bisu? Maka dapatlah kita tarik kesimpulan dari dialektika ini bahwa kalimat syahadat adalah sebuah SUBSTANSI bukan sebuah FORMALITAS. Begitupula dengan Ijab Kabul Pernikahan, ini adalah susbtansi bukan formalitas.
Bersambung…
Dialektik Bebas Nilai
Bagian Kedua
Salah seorang kawan melempar tanya kepadaku. Kawan itu tampak kesengsem juga dengan filsafat islam. Begini bunyinya, “Dalam pandangan islam, pacaran itu haram karena ayat ‘janganlah kau mendekati zina’. Lantas bagaimana dengan persahabatan/pertemanan?”
Saya menjawab, jangan kau terjebak dalam makna kata. Saya melanjutkan, dalam satu sisi, pacaran maupun persahabatan adalah hal yang tidak boleh. Namun di sisi lain, pacaran maupun persahabatan adalah yang sangat diperbolehkan.
Aku memberikan contoh. Pertama, dalam konteks kultur Indonesia, pada umumnya pacaran itu seperti ini: jalan berdua dengan kekasih, entah ke mall atau ke pantai, atau indekos dan sebagainya. Maka dalam konteks ini, aku ingin mengatakan bahwa inilah yang diharamkan. Wallahutaalaalam.