Mohon tunggu...
Ady Akbar
Ady Akbar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ady Akbar. Universitas Haluoleo Kendari- Sulawesi Tenggara. CP: 085242400515

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialektika Bebas Nilai (Tentang Cinta)

24 Juli 2016   14:34 Diperbarui: 24 Juli 2016   14:44 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sampailah aku di muara nalarku tentang cinta. Di bagian ini, ingin aku ceritakan kisah tentang Seokarno yang menikahi anak HOS Cokroaminoto, Inggit Garnasih, yang tidak lain adalah ibu kosnya sendiri yang kemudian menjadi istri pertamanya. Atau kisah lain Soekarno yang menikahi Fatmawati yang tidak lain adalah muridnya sendiri.

Dari dua kisah yang sebut di atas, apakah kau berpikir bahwa soekarno gila? Tidak memikirkan apa yang akan dikatakan oleh orang sekitarnya? Atau lebih dari semua itu?

Akan kuceritakan lagi tentang kisah cinta perdana menteri pertama Republik Indonesia, Sutan Sjahrir, yang menikahi seorang perempuan, yang tidak lain adalah bekas istri sahabatnya (bahkan teman satu kosnya ketika menuntut ilmu di negeri Belanda).

Dari kisah Sjahrir di atas, apakah kau berpikir bahwa ia telah gila karena menikahi mantan istri sahabatnya sendiri?

Aku ingin lantang mengatakan bahwa Soerkano dan Sjahrir tidaklah gila. Tetapi nalar kitalah yang tidak bisa membaca nalar mereka. Kau pasti tahu, bahwa sesuatu itu terkadang tidak bisa terlihat bukan hanya karena ia terlalu gelap, tetapi juga kadang karena ia terlalu terang. Begitulah kondisinya. Aku yakin bahwa Soekarno dan Sjahriri lebih mengerti makna cinta daripada aku, kau, dan kita semua.

Lantas, tidak pernahkah kau berpikir tentang kisah Muhammad SAW. Yang menikahi Aisya ra. yang pada saat itu masih berusia relatif muda. Yang kemudian membawa banyak komentar di kalangan banyak orang karena Rasulullah mempersunting perempuan usia muda.

Jika aku merujuk pada kisah Soekarno, Sjahrir, dan Muhammad. Maka kugariskan benang merah bahwa cinta yang susbtansi adalah cinta yang tidak menghiraukan cibiran orang kebanyakan selama itu masih dalam koridor kebenaran. Lantas mengapa kita harus malu dan minder kepada yang lain ketika kita berdiri pada titik kebenaran cinta? Lagipula, kita semua tahu bahwa semua orang punya masa lalu. Namun tak ingatkah kita dengan kalimat BJ Habibie kepada Ainun: ”Masa laluku adalah milikku. Masa lalumu adalah milikmu. Namun masa depan, adalah milik kita berdua.”.

#Wallahualambissawaf#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun