Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Kaus Bola Idaman Faiz

28 Juli 2016   11:13 Diperbarui: 28 Juli 2016   22:20 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran tinggal menghitung hari. Anak-anak masih terjaga puasanya, kecuali ibunya yang tersandung bulan kemarin siang. Bulan kurang ajar, kata istriku, Nunik. Aku diam saja sambil berpikir sendiri, kenapa bulan dianggap kurang ajar olehnya. Mungkin karena ia datang siang-siang.

Jangan ditanya semangat anak-anak setiap menjelang adzan maghrib. Mereka seperti menyambut kedatangan seseorang yang membawakan mereka oleh-oleh. Lain lagi dengan ibunya, menjelang maghrib ia begitu sibuk, seperti seorang koki di restoran yang sedang ramai pengunjung. Aku? Menjelang maghrib aku menjadi asisten koki, bagian menyiapkan segala sesuatu yang akan dieksekusi sang koki, sekaligus pelayan pengunjung. Maksudku, anak-anak.

Puasa tahun ini tak ada kendala yang berarti. Anak-anak sudah menemukan semangatnya sendiri untuk berpuasa. Lingkungan tempat tinggal kami, sekolah, dan tempat mereka mengaji memberi andil besar dalam membantu orang tua awam seperti kami mendidik anak-anak untuk berpuasa.

Sebagai tukang batu, tahun ini aku juga tak menganggur seperti puasa tahun lalu. Istriku pun kebanjiran order makanan lebaran andalannya, telur gulung. Ia mantan buruh pabrik biskuit yang menguasai cara membuat makanan enak itu. Dengan harga yang lebih terjangkau membuat banyak orang memesan makanan itu pada Nunik. Tahun lalu, pada saat aku menganggur, makanan itu pula yang membuat kami bisa berlebaran seperti yang lain.

Sekarang kami menyambut lebaran dalam keadaan yang sedikit lebih baik. Setidaknya untukku, sebagai penanggung jawab utama keluarga ini. Aku bisa menggiring mereka ke toko pakaian, dan ketiga anak-anakku telah mendapatkan baju baru mereka. Ya, baru tiga, karena Faiz, anak kedua kami belum mendapatkannya. Apa yang diinginkannya tak bisa kutemukan.

Kaus bola, itu yang diinginkan Faiz. Ia menginginkan kaus bola Barcelona dengan nomor sembilan di punggung dan ada nama, Suarez. Aku sudah menemukannya pada sebuah toko yang menjual bermacam pakaian dan alat olahraga, tapi Faiz tak mau. Katanya, tak ada gambar centangnya. Mulanya aku bingung dengan gambar centang yang dimaksudnya, tapi dari penjualnya aku akhirnya tahu kalau kaus bola yang diinginkan Faiz tak ada di sana.

“Bapak harus pergi ke gerai yang menjual kaus bola yang asli,” kata pelayannya.

“Memangnya yang ini tidak asli?” aku bertanya.

“Ini cuma replika, Pak.”

“Republika?”

“Replika, tiruan, tidak asli.”

“Lalu, gambar centang yang dimaksud anak saya itu gambar apa? Memangnya di sini tak ada yang ada gambar centangnya?” aku bertanya.

“Oh, itu gambar logo merek kaus bolanya. Memang kalau kaus replika di sini tak ada gambar centangnya.”

“Di toko apa saya bisa mendapatkan kaus yang seperti itu?”

“Bapak harus pergi ke Kudus atau Semarang. Di sana banyak toko yang menjual kaus bola yang asli.”

Jauh sekali.

Berkali aku merayu Faiz agar membeli yang ada saja, tapi anak itu bergeming. Ia tetap menginginkan kaus bola seperti yang diinginkannya, bukan seperti yang ada di toko itu.

------

“Satu juta dua ratus ribu, Pak,” kata pelayan toko yang menjual bermacam kaus bola, jaket, sepatu, tas, dan banyak lagi itu menyebut harga kaus bola yang dijualnya.

“Satu kaus ini?” aku keheranan mendengar harga kaus itu sama dengan bayaranku bekerja sebulan.

“Ya, ini kaus bola asli, Pak. Lihat mereknya,” kata pelayan itu sambil menunjuk gambar centang. Jadi ini, kaus dengan gambar centang?

“Apa bedanya asli atau tidak? sama saja, kan?”

“Yang asli ini kalau dipakai adem, Pak, dan bisa menyerap keringat,” kata pelayan itu. Bukannya setiap kaus memang menyerap keringat yang memakainya? Memang ada kaus yang tidak menyerap air seperti daun talas?

Aku keluar dari toko itu dengan Faiz yang setengah menangis di belakangku. Semisal uang sejumlah itu hanya untuk Faiz, uang itu bisa dipakai untuk membeli sarung dan peci, baju koko, baju lebaran, sepatu, kaus kaki, tas, buku-buku, kembang api, petasan korek, jajan...

Aku dan Faiz sudah menempuh perjalanan jauh ke Kudus. Kupikir kaus bola yang diinginkan Faiz seharga lima puluh atau enam puluh ribu saja.

Faiz sudah benar-benar menangis sekarang. Ia tak malu-malu lagi menumpahkan tangisnya sehingga menarik perhatian orang. Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Faiz. Ia memang hanya meminta kaus bola untuk lebaran kali ini dan ia berjanji untuk puasa sebulan penuh. Aku pun berjanji untuk membelikannya. Tapi aku sungguh tak pernah menyangka jika kaus seharga satu juta dua ratus ribu itulah yang dimintanya. Sekarang aku berada dalam posisi harus menepati janji.

Aku tak tahu bagaimana membujuk Faiz. Ia masih terus menangis dengan sambil mengikuti langkahku. Aku benar-benar merasa kebingungan.

“Bagaimana kalau kamu beli baju lebaran, sarung, peci, sandal, dan sepatu? Adikmu cuma membeli baju lebaran dan sandal saja, lho,” aku mencoba mendiamkannya dengan sabar.

Faiz masih tetap menangis dan tetap pada keinginannya pada kaus bola Barcelona dengan gambar centang seharga satu juta dua ratus ribu itu. Usahaku untuk membuatnya diam dan berubah pikiran tak berhasil. Kekesalan mulai terbit pada pikiranku.

“Bisa diam tidak?”

Faiz masih terus menangis.

“Adiknya kenapa, Pak?” tiba-tiba seorang gadis muda mendekat pada kami.

“Eh, jatuh, Mbak,” sahutku bohong.

“Kenapa, Dik?”

Faiz tak menanggapi gadis muda itu. Ia masih sibuk dengan tangisnya. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

“Mbak, Mbak, tak perlu, kami bukan pengemis,” sahutku dengan sedikit kesal karena gadis itu seperti sedang mencoba menjadi pahlawan.

“Sepertinya adik ini menginginkan sesuatu?” gadis itu berkata.

“Dia menginginkan kaus bola seharga satu juta dua ratus ribu. Mbak pernah ingin memakai kaus seperti itu?”

Gadis itu melongo. Ia tampaknya mengerti sekarang dan sepertinya juga tak tahu, jalan keluar seperti apa yang bisa diberikannya pada Faiz yang sesaat lalu sepertinya sangat ingin ia tolong.

“Ikut saya, Pak,” kata gadis muda itu.

Aku memandang gadis muda itu dengan curiga. Menjelang lebaran biasanya akan bermunculan orang-orang yang berniat jahat.

“Ke mana?”

“Saya akan tunjukkan di mana bisa mendapat kaus bola,” kata gadis itu.

“Anak saya sudah sering melihat kaus bola. Tapi kaus bola yang diinginkannya hanya ada di toko yang mahal itu,” sahutku.

“Percaya sama saya, Pak, adiknya akan senang kalau melihatnya. Harganya tidak semahal itu.”

“Anak saya tak mau kalau tak ada gambar centangnya,” aku menolaknya sekali lagi karena aku yakin gadis ini memiliki maksud tertentu.

“Tempatnya dekat dari sini, di lantai dua, di bawah eskalator.”

“Mbak, tak sedang ingin men...?”

“Harganya mungkin hanya tujuh puluh atau delapan puluh ribu, tapi sama persis dengan yang satu juta dua ratus ribu.”

“Mbak tak bohong?”

“Bapak takut, ya? Saya pikir adiknya ini kenapa kok menangis. Ternyata karena ingin kaus bola yang mahal itu. Saya tahu tempat yang menjual kaus yang sama dengan yang mahal itu, tapi harganya jauh lebih murah. Mari, saya tunjukkan. Tak usah takut.”

Aku akhirnya mengajak Faiz mengikuti gadis muda itu berjalan hingga akhirnya menuruni tangga berjalan menuju lantai dua. Tepat di dekat tangga berjalan itu ada banyak kaus bola yang digantung dan sebagian dibungkus plastik dan diletakkan dalam etalase.

“Nah, ini dia, Pak,” kata gadis muda itu. “Mau yang mana, Dik?”

Faiz langsung memilih di antara kaus bola yang digantung dan menemukan kaus Barcelona. Ia tampak senang karena ada gambar centang seperti yang diinginkannya. Ia kemudian melihat bagian belakang kaus bola itu. Kosong, tak ada nomor sembilan dan nama Suarez. Ia menggantungkan lagi kaus itu dan melihat yang lain.

“Tak ada Suarez,” kata Faiz.

“Oh, suka Barcelona ya?” kata gadis muda pada Faiz.

“Kalau mau bisa disablon, Pak,” kata penjualnya, “disablon nomor punggung dan nama pemain yang disukai.”

Faiz tampak ragu.

“Nomor dan namanya sama persis dengan aslinya,” imbuh penjualnya lagi. “Ini contohnya,” diperlihatkan sebuah kaus yang sudah disablon dengan nomor 10 dan tertulis nama, Messi.

“Berapa harganya?”

“Delapan puluh ribu, Pak. Kalau sama sablonnya sembilan puluh ribu.”

Ah, sepertinya janjiku pada Faiz akan tunai.

“Nomor berapa, Dik?” tanya penjualnya pada Faiz.

“Sembilan,” kata Faiz. Sepertinya dia senang.

“Wah, suka Suarez, ya?” katanya sambil menyuruh Faiz untuk menentukan kaus mana yang akan ia pilih dari beberapa pilihan. Gadis muda itu menemani Faiz memilih kaus dan menemaninya menunggui penjualnya menyablon kaus itu.

Aku tertegun karena tadi aku hampir menumpahkan kekesalanku pada anak yang memang belum tahu apa-apa selain meminta. Padahal ada tempat lain yang menyediakan keinginan Faiz. Faiz ternyata tak mempermasalahkan kaus dengan harga berapa, ia hanya peduli dengan gambar centangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun