“Yang asli ini kalau dipakai adem, Pak, dan bisa menyerap keringat,” kata pelayan itu. Bukannya setiap kaus memang menyerap keringat yang memakainya? Memang ada kaus yang tidak menyerap air seperti daun talas?
Aku keluar dari toko itu dengan Faiz yang setengah menangis di belakangku. Semisal uang sejumlah itu hanya untuk Faiz, uang itu bisa dipakai untuk membeli sarung dan peci, baju koko, baju lebaran, sepatu, kaus kaki, tas, buku-buku, kembang api, petasan korek, jajan...
Aku dan Faiz sudah menempuh perjalanan jauh ke Kudus. Kupikir kaus bola yang diinginkan Faiz seharga lima puluh atau enam puluh ribu saja.
Faiz sudah benar-benar menangis sekarang. Ia tak malu-malu lagi menumpahkan tangisnya sehingga menarik perhatian orang. Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Faiz. Ia memang hanya meminta kaus bola untuk lebaran kali ini dan ia berjanji untuk puasa sebulan penuh. Aku pun berjanji untuk membelikannya. Tapi aku sungguh tak pernah menyangka jika kaus seharga satu juta dua ratus ribu itulah yang dimintanya. Sekarang aku berada dalam posisi harus menepati janji.
Aku tak tahu bagaimana membujuk Faiz. Ia masih terus menangis dengan sambil mengikuti langkahku. Aku benar-benar merasa kebingungan.
“Bagaimana kalau kamu beli baju lebaran, sarung, peci, sandal, dan sepatu? Adikmu cuma membeli baju lebaran dan sandal saja, lho,” aku mencoba mendiamkannya dengan sabar.
Faiz masih tetap menangis dan tetap pada keinginannya pada kaus bola Barcelona dengan gambar centang seharga satu juta dua ratus ribu itu. Usahaku untuk membuatnya diam dan berubah pikiran tak berhasil. Kekesalan mulai terbit pada pikiranku.
“Bisa diam tidak?”
Faiz masih terus menangis.
“Adiknya kenapa, Pak?” tiba-tiba seorang gadis muda mendekat pada kami.
“Eh, jatuh, Mbak,” sahutku bohong.