“Percaya sama saya, Pak, adiknya akan senang kalau melihatnya. Harganya tidak semahal itu.”
“Anak saya tak mau kalau tak ada gambar centangnya,” aku menolaknya sekali lagi karena aku yakin gadis ini memiliki maksud tertentu.
“Tempatnya dekat dari sini, di lantai dua, di bawah eskalator.”
“Mbak, tak sedang ingin men...?”
“Harganya mungkin hanya tujuh puluh atau delapan puluh ribu, tapi sama persis dengan yang satu juta dua ratus ribu.”
“Mbak tak bohong?”
“Bapak takut, ya? Saya pikir adiknya ini kenapa kok menangis. Ternyata karena ingin kaus bola yang mahal itu. Saya tahu tempat yang menjual kaus yang sama dengan yang mahal itu, tapi harganya jauh lebih murah. Mari, saya tunjukkan. Tak usah takut.”
Aku akhirnya mengajak Faiz mengikuti gadis muda itu berjalan hingga akhirnya menuruni tangga berjalan menuju lantai dua. Tepat di dekat tangga berjalan itu ada banyak kaus bola yang digantung dan sebagian dibungkus plastik dan diletakkan dalam etalase.
“Nah, ini dia, Pak,” kata gadis muda itu. “Mau yang mana, Dik?”
Faiz langsung memilih di antara kaus bola yang digantung dan menemukan kaus Barcelona. Ia tampak senang karena ada gambar centang seperti yang diinginkannya. Ia kemudian melihat bagian belakang kaus bola itu. Kosong, tak ada nomor sembilan dan nama Suarez. Ia menggantungkan lagi kaus itu dan melihat yang lain.
“Tak ada Suarez,” kata Faiz.