“Kenapa bisa begitu?”
“Ah, suami anda terlanjur memelihara penyakit berbahaya. Wanita itu pasti akan membuat suami anda kehilangan pekerjaannya sebagai PNS dengan membeberkan pernikahan siri dengannya jika diceraikan.”
“Tidak. Saya tidak peduli! Saya sudah habis-habisan untuk mengembalikan uang negara yang dia pakai untuk membiayai pengkhianatannya. Saya tidak mau, saya ingin dia menceraikan istri sirinya!”
“Itu lebih baik, saya hanya memancing anda untuk tidak menyerah. Seseorang telah membuat hidup anda hancur tapi anda memilih untuk bunuh diri tanpa melakukan apa-apa terhadapnya. Wanita itu akan tertawa, bahkan mungkin berjingkrak-jingkrak kalau mendengar anda ditemukan tergantung dengan lidah terjulur, atau mendelik sekarat karena menelan racun sianida. Murid-murid anda akan mengenang anda dengan satu kata kata, kasihan.”
“Kalaupun suami saya harus dipecat dengan tidak hormat atau masuk penjara, itu masih lebih baik daripada membiarkannya jadi milik wanita itu seutuhnya. Setidaknya dia masih mudah saya temukan saat saya ingin menyumpah serapah atau meludah, jika saya teringat harta benda saya yang tak mungkin bisa kembali untuk membayar biaya pengkhianatannya!” kata wanita itu berapi-api.
Sang psikolog tersenyum. Ia tahu, ia baru saja membebaskan seseorang dari keinginannya bunuh diri. Ia pernah gagal mencegah keinginan seorang klien-nya untuk melakukan tindakan itu. Ketika itu ia sudah membusa dengan berbagai kata agar orang itu bisa keluar dari lingkaran keputusasaannya. Tapi yang ia dapati adalah, justru setelah membayar konsultasinya, orang itu terkapar di pintu masuk kantornya dengan mulut membusa karena menenggak racun serangga.
“Anda sekarang melihat pilihan terbaik?” tanya sang psikolog.
“Ya, suami saya memang harus menerima hukumannya. Membelanya sama saja membiarkan penyakitnya terus hidup.”
“Baiklah, Bu Lena. Saya rasa saya bisa mempercayai anda bahwa anda sudah menemukan setidaknya sedikit pegangan dalam menghadapi masalah anda. Saya tidak mengarahkan anda untuk melakukan ini atau itu, tapi menuntun anda menemukan dan menentukan pilihan lain selain bunuh diri.”
“Saya merasa tak salah sudah datang kemari, Bu.”
“Keberuntungan dan ketidakberuntungan datang silih berganti. Jika hari ini anda merasakan ketidakberuntungan, percayalah, yang akan datang berikutnya adalah keberuntungan. Tapi, belajarlah peka ketika keberuntungan sedang datang pada anda, agar anda tak terlalu terkejut dengan kedatangan ketidakberuntungan di lain waktu.”