“Ya...”
“Kau memaafkannya, bu?”
“Ia melakukan kesalahan besar, tapi ia juga sungguh-sungguh memperbaikinya. Kau tak bisa menghadiahi ia dengan yang lain kecuali maaf.”
“Kau juga mencintainya?”
Helene memandang Berta.
“Cintaku untuk ayahmu masih terjaga sampai saat ini. Karl membangun sendiri ruang dalam hatiku dengan susah payah. Aku tak pernah ingin memasukinya, sampai kemudian aku sadar bahwa semua ini adalah takdir. Aku memberinya hadiah ciuman ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke 50, dan sejak saat itu aku mengijinkannya tidur bersamaku. Aku harus merawatnya setelah bertahun-tahun ia bekerja keras untukku dan memberi kehidupan yang jauh lebih baik. Aku juga meminta maaf padanya karena memberinya kehidupan yang penuh tekanan.”
“Kau pernah mengucapkan cintamu padanya?”
“Ya, di ulang tahun dia yang ke 50.”
“Baiklah, bu. Selama ini aku hanya tahu bahwa Karl, ayah tiriku itu, sangat baik dan murah hati. Ceritamu tadi sempat membuatku kecewa padanya, tapi ketika semuanya kau ceritakan, aku memutuskan untuk tetap menghormatinya dan mengenangnya dengan bangga. Ia pernah melakukan sebuah kesalahan besar, tapi ia sungguh-sungguh memperbaikinya dan berhasil. Sekarang, tunjukkan tempat di mana kau bersembunyi dulu dan bagian tembok yang kau naiki, aku ingin menemui ayahku,” kata Berta.
“Aku tak yakin apakah tempat itu masih bisa kukenali,” sahut Helene, “dan tempatnya agak jauh dari sini.”
“Setidaknya sekali dalam hidupku, aku melihat tempat di mana ayahku pernah berada,” ujar Berta. Ia tahu, membiarkan seorang wanita tua berumur 64 tahun berjalan agak jauh bukanlah ide bagus, tapi ibunya sangat bersemangat dan terlihat lega setelah semua yang dirahasiakan dalam hidupnya dan menjadi beban telah ia ungkapkan padanya.