“Karl? Membunuh ayah?”
“Jadi, ketika aku sudah berhasil memanjat tembok, ayahmu pun bersiap naik, pada saat itulah Karl menembak ayahmu. Pucuk pistolnya dibungkus gulungan kain sehingga suara tembakan itu teredam...”
“Tapi, apa alasannya? Bukankah mereka bersama merencanakan pelarian itu?”
“Aku...”
“Aku tak mengerti, bu.”
“Karl diam-diam mencintaiku dan ia ingin memiliki aku. Dalam rencana pelarian bersama ayahmu, ia juga punya rencana sendiri, dan rencana itu berhasil. Saat ia naik kembali ke tembok untuk memastikan keadaan ayahmu hanyalah caranya untuk mengelabuhi dan meyakinkanku bahwa mungkin ayahmu tertangkap tentara patroli yang lain.”
Berta terdiam dalam keterkejutannya yang nyata. Jadi, Karl, adalah teman ayah yang bersama merencanakan pelarian itu, tapi membunuh ayah demi keinginannya memiliki ibu? Jadi selama ini mereka hidup bersama seseorang yang membunuh ayah mereka?
“Di awal pelarian kami, Karl tak memikirkan apa-apa kecuali keinginan hidup bersama denganku. Maka ia melakukan semuanya untukku agar aku bersimpati padanya dan menuruti keinginannya. Tapi ketika melihatku bekerja sebagai pelayan toko dan keadaanku semakin lemah, ia merasa sangat bersalah dan sejak saat itu bayangan Olaf menghantuinya kemana pun ia pergi. Pada saat aku memutuskan untuk menyerahkan hidup dan mati padanya itulah ia berada pada puncak penyesalannya dan mengakui semua perbuatannya.”
“Kau marah padanya?” tanya Berta.
“Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku merasa kosong.”
Helene kembali memandangi Gerbang Brandenburg yang gagah, tapi bisu. Berta menekan perasaannya sendiri yang mulai terjerang rasa kecewa dan marah. Karl? Ayah tiriku itu...?