Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ich bin ein Berliner

30 Mei 2016   12:16 Diperbarui: 31 Mei 2016   21:01 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sampai di atas, aku menurutkan apa yang diperintahkan ayahmu untuk mengaitkan pengait lain dan menjatuhkan tali lainnya ke balik tembok dan menuruni tembok itu dengan tali. Lalu teman ayahmu naik dengan cepat dan dengan cepat pula turun di seberang di dekatku.”

“Dan ayah?” Berta bertanya lagi meski ia sudah tahu bahwa ayahnya tak pernah berhasil memanjat tembok Berlin. Tapi sampai di bagian ini, cerita ibu diselimuti misteri. Ibu seperti tak pernah yakin apa sebenarnya yang terjadi pada ayahnya ketika ia sudah berada di balik tembok.

“Aku pikir ayahmu juga akan segera menyusul, tapi ia tak pernah melakukannya. Seharusnya terdengar tembakan atau keributan jika ada yang melihatnya, karena kami hanya terpisah tembok. Kami tak bisa saling melihat, tapi setidaknya kami bisa saling mendengar. Teman ayahmu bahkan sempat memanjat kembali ke atas untuk memastikan, tapi ia tak menemukan ayahmu sementara suasananya sepi saja,” kata Helene.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah, bu? Pada bagian ini, aku merasakan sebuah misteri.”

“Entahlah. Teman ayahmu akhirnya meyakinkanku bahwa menunggu di sana lebih lama hanya akan membuat pelarian itu bisa gagal, maka ia mengajakku pergi menemui seseorang yang sudah mereka hubungi sebelumnya untuk bersembunyi sementara waktu sambil menunggu ayahmu.”

Helene diam beberapa saat, lalu ia kembali terguncang. Berta mendudukkan ibunya pada sebuah bangku dan mengeluarkan selembar tisu.

“Aku bersikeras menunggu di tempat orang yang menolong aku dan teman ayahmu hingga beberapa hari, karena aku berharap ayahmu akan segera menyusul. Tapi kau tahu, ia tak pernah menyusulku,” Helene menarik nafas dalam lagi.

“Bagaimana ibu sampai di Koln?” tanya Berta.

“Aku tak ingin pergi tanpa ayahmu, tapi aku sadar bahwa menunggunya terasa sia-sia. Teman ayahmu meyakinkanku bahwa ia akan mendapatkan informasi tentang ayahmu jika keadaan sudah memungkinkan, tapi aku harus pergi jauh dari tembok itu dan mencari kehidupan yang lebih baik. Ia meyakinkanku bahwa ayahmu akan menyusul suatu hari.”

“Cerita ibu selama ini selalu berhenti sampai di bagian ini. Ibu lalu pergi ke Koln, menumpang tinggal di rumah kenalan ayah, dan bekerja di toko parfum. Bertemu seorang bernama Karl dan menikah dengannya,” ujar Berta, “dan di bagian ini, teman ayah itu tak pernah aku dengar lagi.”

Helene memandangi Berta dengan mata berkaca-kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun