Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ich bin ein Berliner

30 Mei 2016   12:16 Diperbarui: 31 Mei 2016   21:01 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Olaf Meier, ayahmu, dan seorang temannya malam itu bertugas jaga malam. Seperti yang sudah mereka sepakati dan mereka rencanakan selama berbulan-bulan, mereka akan melakukan desersi dengan melarikan diri ke balik tembok. Kau pernah membaca tentang Conrad Schumann[2], bukan?” tanya Helene.

“Ya, aku menemukannya di banyak catatan dan kliping-kliping.”

“Polisi muda itulah yang menginspirasi ayahmu,” kata Helene, “Ia dan temannya menyiapkan apa yang diperlukan untuk itu pada sebuah tempat rahasia, seperti tali dan besi pengait untuk memanjat tembok, atau besi panjang untuk mengungkit untaian kawat berduri agar seseorang bisa merayap dibawahnya. Mereka juga sudah mencoba berkali-kali untuk mengelabui alarm dan mengenali tempat-tempat di mana ranjau di tanam. Aku sudah disembunyikan di sebuah tempat yang lain sejak petang. Ketika tengah malam, mereka melakukan hal sebagaimana biasa jika bertugas, sama sekali tak terlihat jika mereka adalah dua tentara yang sedang akan melarikan diri. Untuk hal itu mereka sudah melatihnya agar tak terlihat mencurigakan tentara lain. Ayahmu mendatangi tempat persembunyianku sementara temannya menyiapkan tali dan besi pengait,” kata Helene.

“Aku selalu merasakan ketegangannya di bagian itu, bu” ujar Berta menimpali.

“Ya, itu sangat menegangkan, dan aku hampir menyerah bahkan pada saat menunggu selama berjam-jam di tempat persembunyian hingga tengah malam. Ketika ayahmu datang, aku merasa lumpuh karena takut,” lanjut Helene.

“Apakah ayah atau temannya itu juga takut?”

“Mereka juga manusia biasa, tapi harapan untuk tetap hidup membuat orang berani bahkan untuk melakukan hal yang paling mengerikan sekali pun. Seperti mempertaruhkan nyawa demi hidup yang merdeka, demi keluar dari kota gelap yang mengungkung dan mengawasi setiap gerak kami.”

“Bagaimana ayah meyakinkanmu?”

“Tak ada yang ia katakan karena kami tak punya banyak waktu, kecuali bahwa bayi dalam perutku, berhak untuk kemerdekaannya, itu yang membuatku bersemangat dan segera memanjat tembok itu dengan tali. Mula-mula itu terlihat sangat mengerikan. Memanjat tembok tinggi dengan resiko jatuh itu sendiri sudah merupakan hal yang mustahil untuk perempuan hamil sepertiku, apalagi ditambah kemungkinan ada tentara yang melihat dan melepas tembakan,” Helene mengatur nafasnya. Berta mengelus punggung ibunya.

“Aku juga teringat berita tentang Ida Siekmann[3] yang mencoba melompat dari lantai 3 apartemennya di Jalan Bernauer No. 48, tapi terjatuh dan mati. Hanya saja kata-kata ayahmu seperti mantra yang membuatku merasa mendapat kekuatan, maka aku memanjatnya,” lanjutnya.

“Entah di mana kita sekarang jika kau tak melakukan itu,” Berta menambahkan untuk meyakinkan bahwa ia sangat menghargai apa yang sudah dilakukan ibunya, “kau membawaku memanjat tembok setinggi tiga setengah meter.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun