Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Nasib Kelas Menengah, Mengapa dari Awal Kerja hingga Jelang Pensiun Kredit Terus?

9 Maret 2024   21:10 Diperbarui: 10 Maret 2024   01:39 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kredit. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Just Sharing...

Ada nasabah di kantor. Sebut saja namanya Bu Minah. Dia janda, dia pebisnis, dia punya tiga anak. 

Sebuah mobil Daihatsu Xenia keluaran tahun 2012 selalu terparkir di garasi rumahnya. Kendaraan roda empat itu sudah empat kali disekolahin BPKB-nya. 

Pertama 40 juta di tahun 2015 tenor dua tahun. Dia bilang untuk modal usaha. Kadang lancar kadang telat tapi akhirnya lunas juga. Di tahun 2017 dengan agunan yang sama dia ajukan lagi. Waktu itu butuh 35 juta buat biaya kuliah anak sulungnya. 

Tahun berlalu hingga 2021 sudah empat kali kontrak berulang. Istilahnya nasabah RO (Repeat Order). 

Saking seringnya hubungan antara pegawai di kantor dengan dirinya sudah bukan antara nasabah dengan marketing, tapi ibu dan anak atau kakak dan adik. Segala hal dikisahkan. 

Apakah Ibu Minah bisa dikategorikan orang kaya? Bila ukurannya adalah sudah punya mobil, bisa jadi iya. 

Tapi sebenarnya, bila ditelusuri lebih jauh, Bu Minah punya banyak tanggung jawab cicilan. Itu belum utang piutang dengan beberapa orang.

Saking banyaknya ekonomi Bu Minah hanya berputar-putar di situ. Stag. 

Gambar diambil dari Kompaspedia. 
Gambar diambil dari Kompaspedia. 

Dari luar terlihat bak orang kaya, tapi sejatinya sedang melakoni nasib kelas menengah. Tak kaya, tak miskin, tapi kredit terus. 

Salah satu faktor lain yang bikin siklus keuangan Bu Minah senantiasa tak naik-naik adalah tanggung jawab pada keluarga besarnya sendiri.

Label anak sulung sudah punya mobil dan sudah punya rumah, buat Bu Minah layaknya dinas sosial bagi mereka. Bantu adik bantu sepupu bantu keponakan hingga donatur untuk acara adat dan kemasyarakatan di desanya. 

Dari luar terkesan berkecukupan, tetapi aslinya ya dibilang cukup ya cukup, dibilang kurang ya memang kurang juga. 

Waktu berlalu hingga lebih dari sepuluh tahun akhirnya menyadarkan Bu Minah lewat satu kejadian di kantor. Bu Minah sedang kepepet. Berada di kondisi BUC (Butuh Uang Cepat). Solusi pertama yang muncul di kepalanya adalah minta kompen alias top up pinjaman. 

Maksudnya kredit yang sedang berjalan sisa sekian bulan itu mau dilanjutkan lagi untuk dikurangi dengan plafon pinjaman baru. 

Bu Minah berharap lancar seperti sebelum-sebelumnya tapi mobilnya yang tahun 2012 ternyata tak bisa lagi dijaminkan.Umur kendaraan sudah lebih dari delapan tahun. 

"Maaf Ibu, tak bisa karena usia unit sudah tak masuk," demikian disampaikan padanya. 

Bu Minah terhenyak. Bangkit dari kursi lalu pamit dan keluar kantor menuju parkiran. Pulang dengan satu-satunya mobil kesayangan yang di tahun 2012 lalu dibeli dengan uang muka dari hasil jual sawah keluarga. 

Bu Minah gamang. Bila satu perusahaan pembiayaan sudah menolak karena mobil dianggap sudah tak layak, ada kemungkinan ditolak juga oleh perusahaan sejenis. 

Kini tak bisa lagi sepenuhnya bersandar pada mobil itu sebagai sumber pinjaman cepat. Mau dijual harganya sudah pasti turun. Kalau pun dijual, dengan cara bagaimana lagi dia harus beli mobil baru padahal banyak kebutuhan yang lain. 

Mau kredit mobil baru lagi tapi usia Bu Minah tahun ini sudah menginjak 52 tahun. Padahal batas umur maksimal nasabah untuk disetujui rata-rata 55 tahun. 

Akhirnya Bu Minah memutuskan lebih baik menggunakan terus mobil itu selama mobil itu masih layak dipakai atau kelak diwariskan pada anak-anaknya. 

"Bersyukur punya meski cuma satu, walau nanti sudah tak bisa lagi disekolahin BPKB-nya," demikian pesannya via chat WA. 

Mengapa masyarakat kelas menengah stagnan secara finansial? 

Bu Minah pada kisah nasabah di atas boleh jadi adalah salah satu dari nasib kelas menengah di Indonesia. 

Dibilang cukup ya cukup, tapi tidak bisa dikatagorikan orang yang punya uang banyak. 

Banyak masyarakat kelas menengah merasa sekian tahun bekerja, sekian tahun punya usaha,tapi ngga kaya-kaya juga. Yang ada kredit terus. Banyak nasabah di kantor usai kredit mesin cuci lalu kredit motor. Setelah lunas mau punya mobil lantas kepikiran kredit mobil. 

Manakala kredit sedang berjalan eh ternyata anak sulung mau kuliah butuh laptop. Ujung-ujungnya kredit laptop lagi. 

Nanti si bungsu mau masuk sekolah, eh butuh dana pendidikan. Akhirnya BPKB motornya disekolahin lagi. Gitu terus. Mutar kayak spiral seiring siklus kehidupan.

Lantas apa saja yang bikin nasib kelas menengah cenderung stagnan secara finansial? Cukup berkaca pada fakta dan realita di masyarakat. 

Fakta pertama, jomplangnya kenaikan UMK setiap tahun dengan kenaikkan barang-barang penunjang hidup. 

Ketika saya lihat besaran UMP tahun 2024 seluruh provinsi di Indonesia dan membandingkan dengan UMP tahun lalu 2023 rata-rata naiknya kurang dari sepuluh persen. 

Ada yang naik cuma 200 ribu hingga 300 ribu. Tapi bukan main terkejutnya ketika lihat kenaikkan harga kendaraan dan harga rumah KPR dari tahun 2023 ke tahun 2024. 

Untuk apa UMK naik 200 ribu, kalo mau kredit rumah syarat uang muka DP sudah bertambah 5 juta hingga 10 juta. Mau kredit motor atau mobil harganya sudah tambah naik 5 juta hingga 15 juta. 

Jangankan kredit rumah, kebanyakkan kaum pekerja kantoran status perantau di kota-kota besar yang ngekos atau ngontrak harga sewa per bulan atau per tahun juga sudah naik dibanding tahun lalu. 

Seorang debitur dana tunai di kantor yang berprofesi karyawan di sebuah mal besar, ikutan mengeluh. 

"Apalah artinya gaji naik 200 ribu tapi biaya kos juga naik 200 ribu. Sama-sama zonk," demikian katanya. 

Ini adalah salah satu alasan mengapa nasib kaum menengah senantiasa berada di level stagnan. Mau naik yang lain juga ikutan naik. 

Ekonominya akan berada di situ situ dari tahun ke tahun. Jadi bukan salah bunda mengandung, bila masyarakat bisanya cicil doang. Tidak manpu beli tunai. 

Fakta kedua, budaya anak harus bantu finansial keluarga besar. 

Seperti kisah nasabah Bu Minah di atas, label anak sulung atau anak keberapa pun, bila sudah bekerja dan punya penghasilan cenderung jadi dinas sosial dalam keluarga. 

Bantu adik biaya sekolah, bantu orangtua biaya kesehatan, hingga keponakan dan sepupu hingga kemenakan pun dia bantu. 

Ingin membahagiakan orangtua dan keluarga cenderung mengacu pada rela berbagi finansial. Tidak salah memang. Itu tindakan mulia. Tapi haruskah sampai menyusahkan diri sendiri? 

Padahal umur produktif bekerja itu ada masanya, ada batasnya. Adalah baik membantu keluarga besar, tapi pertimbangkan juga diri sendiri di kemudian hari. 

Fakfa ketiga, internet menjelma jadi kebutuhan pokok. Bila kebablasan, enaknya bisa menggoda dan sukses mengempeskan dompet.

Pernahkah berpikir bahwa hidup tanpa internet tanpa media sosial berkorelasi langsung dengan minimalnya pengeluaran dana. 

Alasannya sederhana: tak banyak godaan belanja karena tak instal aplikasi belanja dan e commerce. Tak melihat tayangan di medsos yang memancing hasrat untuk mengeluarkan uang atau keinginan untuk wisata dan traveling. 

Saya baru sadar dua tahun lalu saat sudah memakai kartu pasca bayar untuk dua nomor handphone selama lebih dari sepuluh tahun. Setelah dihitung-hitung untuk dua kartu itu biayanya hampir sama biaya hidup sebulan. 

Saya lakukan evaluasi ulang, ini habisnya buat apa saja dan untuk kegiatan apa saja yang butuh kuota data besar. Kurangi yang tak penting. Hapus aplikasi yang tak berguna.

Ini bukan berarti tak pakai internet sama sekali tapi kontrol diri sehubungan dengan banjirnya godaan ini dan itu lewat media internet yang bisa memancing hasrat untuk boros. 

Fakta keempat, kelas menengah ikut program tabungan atau investasi jangka panjang tapi saat tabungan cair inflasi juga melonjak.

Masyarakat kelas menengah adalah market terbesar perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri jasa keuangan. 

Secara pendidikan secara finansial mereka memenuhi syarat dianggap mampu untuk mencicil. Oleh karena itu selain penawaran kredit, produk tabungan jangka panjang juga ditawarkan. 

Pernah tidak ditawari asuransi pendidikan anak dimana nabung sekian ratus ribu rupiah setiap bulan TAPI HANYA BOLEH diambil setelah 10 tahun atau 15 tahun? 

Itu mungkin produk tabungan yang sepertinya bijaksana karena di masa depan ada stok tabungan untuk kebutuhan ini dan itu. Tapi siapa bisa menjamin dalam 10 atau 15 tahun kedepan nilai dan harga barang akan tetap sama? 

Belum lagi kebijakan pemerintah yang jerap bisa berubah. Itu belum ditambah kondisi dunia secara global.

Bandingkan beberapa realita di bawah ini antara lain: 

1. Ada orangtua yang menabung sekian ratus ribu setiap bulan demi masa depan anak di zaman sebelum sistem UKT diterapkan oleh PTN. 

Lantas cair sekian tahun kemudian setelah anaknya tamat SMA dan PTN mulai berlakukan UKT. Bila si anak keterima di salah satu PTN, apakah total tabungan itu cukup? Belum tentu. Bisa jadi masih kurang banyak.

2. Harga BBM dan bahan bakar gas. Ini adalah harga kebutuhan yang seksi. 

Saking seksinya merambat ke mana-mana yang lain-lainnya juga ikut naik. Siapa yang bisa mengontrol harga minyak? 

Andai di tahun 2014 zaman premium masih Rp8500, per liter dan harga solar masih Rp7.500,- per liter, seorang nasabah kelas menengah menabung 200 ribu per bulan yang hanya bisa diambil 10 tahun ke depan. 

Kini di 2024 cair kurang lebih 200 ribu dikali 12 bulan dikali 10 tahun totalnya 24 juta. 

Akan bisa diapakan uang segitu ketika harga premium sudah 10 ribu per liter dan beraneka harga lain sudah melonjak juga.

Dari dua realitas ini, setidaknya menggambarkan bahwa kendati zaman berubah dan tahun berganti, level finansial kelas menengah cenderung stagnan. 

Mereka tidak miskin, tidak juga kaya. Mereka hanya bertahan melewati jaman dengan kondisi yang cukup-cukup saja. Bisa jadi hanya di situ-situ saja.

Bila ada keperluan mendesak yang jauh lebih besar kemampuan dana dan stok tabungan yang dimiliki, jangan salahkan bila perbankan dan perusahaan pembiayaan jadi solusi ajukan kredit 

Mengapa? Karena lembaga kredit pasar utamanya ya mereka ini, masyarakat kelas menengah. Punya uang setiap bulan, punya usaha, punya pekerjaan, tapi tidak bisa beli tunai. 

Orang miskin sulit mendapatkan akses pembiayaan. Lihat rumah reyot dinding triplek besar kemungkinan ditolak. Lihat gaji buruh di bawah UMK sudah pasti sulit disetujui. 

Jadi fenomena masyarakat mulai kredit dari awal kerja umur 22 tahun hingga jelang pensiun di umur 55 tahun adalah lumrah. Bisa jadi inilah realita nasib kelas menengah di Indonesia. 

Bila kredit adalah jalan ninja untuk memiliki sesuatu, apa yang harus dipertimbangkan kaum menengah?

1. Pilihlah bunga kredit minimal dan jangan buang-buang uang percuma lewat denda. 

Ada banyak tawaran dari lembaga kredit, carilah yang paling kecil bunganya. Dengan demikian sudah hemat sekian ratus atau sekian juta rupiah. 

Dengan lancar membayar, juga sudah mengurangi pemborosan uang sia-sia lewat denda tunggakkan. 

2. Pakai dengan bijak, rawatlah apa yang sudah dikredit. 

Memiliki secara kredit itu beban. Sudah bayar pokok, masih harus bayar bunga lagi. Tapi adalah lebih baik bila sesuatu yang dikredit itu dirawat dan dijaga dengan baik. 

Karena semakin awet dan semakin lama dipakai, semakin tidak merasa percuma dengan total uang yang sudah keluar demi barang tersebut. 

3. Pertimbangkan usia versus kesehatan fisik versus usia produktif. 

Manusia tidak selamanya muda dan kuat. Usia produktif pun sama. Semakin bertambah umur faktor kesehatan menurun adalah hal yang tak bisa dihindari. Jadi bersiaplah dengan risiko bila kredit di saat umur sudah tak muda lagi. 

4. Investasilah di mana hasilnya nanti jauh melebihi lonjakan inflasi di masa yang akan datang. 

Investasi emas untuk jangka panjang rasanya lebih baik dibanding tabungan ratusan ribu yang nanti baliknya cuma perkalian cicilan dikali berapa bulan berapa tahun. 

Yang lainnya ada juga reksadana, saham dan lainnya. Investasi di tanah juga beruntung karena harga tanah terus melonjak. 

Pilihlah yang sesuai tipe, sesuai profil risiko.

Salam Kompasiana

Referensi: 

1. www.kompas.com/tren/read/2023/11/25/113000065/daftar-lengkap-ump-2024-di-38-provinsi-indonesia-dari-yang-tertinggi-hingga

2. kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/kronologi-penyesuaian-harga-bbm-era-reformasi-hingga-kini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun