Dari dua realitas ini, setidaknya menggambarkan bahwa kendati zaman berubah dan tahun berganti, level finansial kelas menengah cenderung stagnan.Â
Mereka tidak miskin, tidak juga kaya. Mereka hanya bertahan melewati jaman dengan kondisi yang cukup-cukup saja. Bisa jadi hanya di situ-situ saja.
Bila ada keperluan mendesak yang jauh lebih besar kemampuan dana dan stok tabungan yang dimiliki, jangan salahkan bila perbankan dan perusahaan pembiayaan jadi solusi ajukan kreditÂ
Mengapa? Karena lembaga kredit pasar utamanya ya mereka ini, masyarakat kelas menengah. Punya uang setiap bulan, punya usaha, punya pekerjaan, tapi tidak bisa beli tunai.Â
Orang miskin sulit mendapatkan akses pembiayaan. Lihat rumah reyot dinding triplek besar kemungkinan ditolak. Lihat gaji buruh di bawah UMK sudah pasti sulit disetujui.Â
Jadi fenomena masyarakat mulai kredit dari awal kerja umur 22 tahun hingga jelang pensiun di umur 55 tahun adalah lumrah. Bisa jadi inilah realita nasib kelas menengah di Indonesia.Â
Bila kredit adalah jalan ninja untuk memiliki sesuatu, apa yang harus dipertimbangkan kaum menengah?
1. Pilihlah bunga kredit minimal dan jangan buang-buang uang percuma lewat denda.Â
Ada banyak tawaran dari lembaga kredit, carilah yang paling kecil bunganya. Dengan demikian sudah hemat sekian ratus atau sekian juta rupiah.Â
Dengan lancar membayar, juga sudah mengurangi pemborosan uang sia-sia lewat denda tunggakkan.Â
2. Pakai dengan bijak, rawatlah apa yang sudah dikredit.Â