Satu hari setelah surat penagihan diterima Andini, sahabatnya menghilang entah dimana. Lusanya dia sudah cabut dari kos di tengah malam saat semua penghuni tertidur lelap.Â
Komunikasi terputus. Pesan teks dan chat WA hanya centang satu. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak.Â
Kini dua perempuan yang bersahabat sejak limat tahun lalu itu sama -sama menyimpan rasa. Yang seorang rasa benci, satunya mungkin rasa malu.Â
Melihat kondisi Andini yang kadang sedang menyusui bayi, harus bela-belain menerima telepon terkait tunggakkan, si suami kian emosi.Â
Tak tega melihat istrinya seperti itu. Mereka pun datang ke kantor. Mohon agar nama debitur dialihkan ke nama si sahabat.Â
Tapi ternyata tak semudah itu. Ini bukan kasus kontrak over kredit. Masuk katagori kasus atas nama. Debitur melakukan secara sadar dan paham konsekuensinya.Â
"Kami sudah lama sahabatan. Kenapa dia bikin susah saya?" curhat Andini. Terlihat bulir air mengalir dari matanya.
Dan mereka pulang dari kantor dengan membawa jawaban bahwa perubahan nama debitur tidak bisa dilakukan.Â
Tetap Ibu Andini lah yang bertanggung jawab karena kesepakatan diantara dia dan sahabatnya dilakukan tanpa sepengetahuan perusahaan pembiayaan. Yang bisa dilakukan adalah meminta dan memastikan sahabatnya untuk bertanggung jawab agar kehidupan juga mental dan psikologis Andini tidak terganggu dan terbeban.Â
Kisah kedua,Â
Dari kisah Andini yang debitur modal kerja, mari kita coba beranjak ke kisah debitur lain untuk melihat efek domino yang ditimbulkan dari sebuah kontrak kredit berlatar persahabatan.