Misalnya harga rumah, harga kendaraan hingga harga gadget. Padahal ketiga benda ini penting banget dalam dinamika aktivitas warga.Â
Apalagi di saat harga tanah melonjak dan mobilitas manusia meningkat ditunjang perangkat komunikasi.Â
Itulah mungkin mengapa perusahaan pembiayaan tumbuh subur di negeri ini. Ketika rakyat tak dapat membeli secara tunai karena sadar bahwa pendapatannya cuma sekian persen dari harga produk yang diminatinya, ke sanalah mereka mencari solusi.Â
Perusahaan pembiayaan entah itu bank, finance, leasing atau semacam koperasi ibarat tembok berlindung meski harus mencicil dalam jangka waktu tertentu.Â
Aman selama bisa mengangsur namun menjadi tak aman manakala nasabahnya sendiri atau pasangan dan keluarganya tak bisa "menguasai diri" dalam tanda petik. Yang terjadi adalah porak-poranda alias ketidakstabilan finansial.Â
Ujung- ujungnya kewajiban angsuran tertunggak. Ini bukan karena force majeure yakni terjadi bencana alam di luar kemampuan manusia atau karena faktor pandemik Covid-19, tapi karena ulah gaya hidup dan perilaku debitur yang akhirnya menyusahkan diri dan orang- orang terdekatnya.Â
Beberapa kisah di bawah ini hanya sekedar berbagi dari pengalaman
1. Suami mengenal narkoba setelah kredit HP baru, istri pusing tujuh keliling
Harga perangkat seluler ini lumayan mahal. Dengan cicilan hampir 900 ribu per bulan selama setahun bisa ditebak berapa kisaran harganya.Â
Debitur adalah istri, namun yang menggunakan adalah suami yang punya usaha sendiri sebagai seorang pebisnis.Â