Kepala Sekolah berjalan menuju ruangannya dengan begitu cepat. Aku bagai sapi yang hendak dijagal mengekornya dari belakang dengan dirundung kecemasan. Sebaiknya aku meronta atau minta dijagal bersama.
“Duduk kau!” perintah Kepala Sekolah. “Bagaimana kau ini? Bisa-bisanya, sila kelima tak tertuang dalam teks. Selama 20 tahun aku menjadi Kepala Sekolah, belum pernah terjadi insiden macam begini.”
“Semua sudah saya siapkan dengan baik, Pak.”
“Coba kau tengok sendiri teks Pancasila ini!”
Aku pun memeriksa teks itu. Benar, hanya ada empat butir sila di sana. Sila kelima tak ada. Aku benar-benar tak tahu ke mana ia pergi.
“Tadi pagi ada lima, Pak. Sungguh,” belaku.
“Buktinya, kini ia raib,” ujarnya.
Aku diam lantaran belum menemukan kalimat macam apa yang harus keluar dari mulutku. Aku mencoba merangkai kata-kata. “Tapi, Bapak kan bisa saja membaca meski tanpa teks. Tak perlulah repot jika sila kelima memang raib.”
“Heh! Kau pikir apa gunanya ada petugas pembawa teks Pancasila jika ternyata isi teksnya tak lengkap?!”
“Saya pikir sebagai formalitas saja, Pak,” balasku.
“Formalitas katamu? Jangan kau pikir aku ini dewa. Aku juga manusia biasa yang punya kesalahan,” ujar Kepala Sekolah. “Coba tolong beritahu aku bagaimana biasanya sila kelima hadir.”