Mohon tunggu...
Aditya Prahara
Aditya Prahara Mohon Tunggu... Jurnalis -

Suka olahraga. http://adityaprahara.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Raibnya Sila Kelima

9 Januari 2016   13:57 Diperbarui: 11 Januari 2016   17:42 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lima,” lanjut Kepala Sekolah.

“Lima,” tiru peserta upacara, hanya beberapa.

Kepala Sekolah terdiam. Semua peserta upacara pun turut. Kepala Sekolah masih belum menyebutkan sila kelima. Aku sendiri jadi kikuk hendak berbuat apa. Kepala Sekolah masih terdiam. Siswa mulai heboh karena yang ditunggu tak kunjung datang. Guru Sejarah berbisik kepadaku.

“Jangan sampai Pak Kepala Sekolah tiba-tiba pingsan. Dekati dia. Kalau dia diam lantas roboh, kita hendak apa? Kita sudah lelah.”

Kepala sekolah mengambil kertas teks dalam map. Ia membolak-balik kertas itu. Kini ia malah mulai menimangnya, menerawangnya, dan merabanya. Belum puas, ia pun memelototinya sampai bola matanya hendak mencelat.

“Apa mungkin Kepala Sekolah sudah tidak waras?” bisik Guru Sejarah lagi.

Aku masih mengamati apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah. Ia meletakkan kembali teks Pancasila ke dalam map. Ia menundukkan kepala. Sepertinya ia berharap menemukan sesuatu di dekat kakinya. Sayang, tak ada yang lain selain sepatunya yang mengkilat tengah dihinggapi katak.

“Ke mana perginya sila kelima ini?!” bentak Kepala Sekolah tiba-tiba.

Kami semua terkejut. Guru-guru berbisik saling bertanya ke mana perginya sila kelima. Siswa-siswi pun demikian. Katak di sepatu Kepala Sekolah pergi ketakutan.

“Tolong beritahu saya! Ke mana perginya sila kelima?!” teriak Kepala Sekolah lagi. Ia pandangi seluruh siswa-siswi yang sedang berbaris di depannya. Beberapa mencibir. Ada yang menegok langit, siapa tahu sila kelima dibawa terbang oleh garuda. Menengok ke bawah, tapi mereka tahu, rumput pagi yang biasanya basah itu sepertinya tak dapat menolong mereka, bahkan katak yang biasanya senang di sana.

Guru Sejarah menyenggolku. “Apa mungkin teks di dalam map itu kosong?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun