“Tidak mungkin. Aku sudah menyiapkannya dengan baik tadi pagi,” jawabku.
“Sudahlah. Beritahu dia. Mungkin dia lupa,” ujarnya lagi.
Aku ragu untuk menghampiri Kepala Sekolah. Aku keberatan jika sepatuku dihinggapi katak juga. Tetapi Kepala Sekolah sudah memutuskan terlebih dahulu. Ia tutup kembali map itu dan memanggil petugas pembawa teks. Siswa-siswi pun mulai meneriaki Kepala Sekolah. Pekik makian menghujani rumput yang kering kerontang.
“Jadi Pancasila hanya ada empat, Pak?! Seharusnya bacakan Catursila tadi!” teriak seorang siswa.
Tanpa menghiraukan peserta upacara yang mulai ricuh, Kepala Sekolah memberi kode untuk meneruskan upacara ke urutan acara selanjutnya, amanat pembina upacara.
Pemimpin upacara pun memberi perintah untuk istirahat di tempat. Kepala Sekolah mulai membuka mulutnya untuk berbicara. Siswa-siswi mulai terkendali. Kami siap mendengar kalimat yang hendak keluar dari ujung bibir Kepala Sekolah yang kini berkilau.
“Amanat upacara pagi hari tidak usah panjang lebar. Saya minta kepada seluruh peserta upacara untuk membantu saya mencari sila kelima yang telah raib baru saja. Terima kasih.”
Peserta upacara semakin kacau. Cemoohan membantu matahari memanaskan semua peserta upacara. Kepala Sekolah meminta upacara bendera segera dibubarkan. Seluruh peserta upacara membubarkan barisan dengan diliputi kegelisahan. Pagi ini, sekolah telah digemparkan oleh raibnya sila kelima. Siswa-siswi menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Kini aku akan dimintai pertanggungjawaban.
“Sini kau,” panggil Kepala Sekolah. Aku pun menghampirinya.
“Maaf, Pak,” ucapku.
“Kita selesaikan ini di ruanganku,” kata Kepala Sekolah lagi.