“Loh kok jam segini sudah pulang?” Aku hanya diam. Ibu mengelus lembut rambutku, “Kenapa? Ada masalah di sekolah?”
“Aku berhenti kerja, Bu. Aku beneran sudah gak tahan sama sikap Bu Ije dalam memperlakukanku. Setiap hari hanya omelan yang aku dapatkan. Setiap pergerakanku selalu salah di matanya.”
“Nak, begitulah dunia kerja. Mungkin maksud Bu Ije biar mendidik kamu jadi guru yang berkualitas.”
“Apa begitu cara mendidik yang baik, Bu? Bagaimana cara aku agar bisa membedakan bahwa itu perilaku mendidik atau menjelekkan, Bu? Sedangkan aku selalu melihat gambaran Ibu yang mendidikku tanpa mengeluarkan satu kata pun untuk menghina apa yang ada di diriku?” Dwi menangis lagi. hal itu membuat ibunya langsung mendekap erat tubuh Dwi..
Ibunya juga tampak terdiam membeku. Perkataan Dwi memang ada benarnya. “Yauda kamu boleh berhenti. Tapi jangan jadikan ini alasan untuk kamu menutup diri pada lingkungan ya. Kamu harus tetap berani menghadapi dunia. Ada Ibu dan Ayah yang akan selalu ada di samping kamu.”
Di tengah percakapan antara Dwi dan sang ibu, seorang wanita paruh baya memberhentikan motornya di halaman rumah Dwi.
“Assalamu'alaikum Ibu, Dwi. Wah, saya mengganggu waktu anak sama ibunya kayaknya nih.”
“Wa’alaikum salam, engga kok Bu. Bu Risa ada apa nih?” tanya ibunya Dwi.
“Ini Bu, mau menawarkan pekerjaan kepada si Dwi. Apa Dwi lagi bekerja di suatu tempat?” tanya Bu Risa kepadaku.
“Engga Bu,” sahut Dwi seadanya. “Wah kebetulan. Jadi bisa dong Dwi?” kata Bu Risa yang tampak semangat.
Ibu menatap ke arah Dwi. Tatapan mereka bertemu. Sorot mata ibunya seakan memancarkan cahaya semangat kepada Dwi.