Ketika semua guru sudah berkumpul, rapat pun dimulai. Beragam masalah yang berhubungan dengan sekolah sudah terbahas oleh guru-guru di sana. Termasuk soal Dwi. Entah kenapa, namanya juga menjadi topik hangat pada rapat kali ini.
“Ibu sebenarnya gak suka ya liat Dwi. Selaku guru yang belum lama di sini seharusnya lebih banyak belajar dari guru lain.” Semua guru menatap dengan tatapan heran karena Bu Ije yang tiba-tiba membahas soal Dwi.
“Pertama, soal uang tabungan. Guru di sini sudah mengetahui bahwa setiap kali anak-anak menyetor, harus segera lapor ke saya. Tetapi si Dwi malah pandai-pandaian tidak melapor di hari itu juga.”
Dwi terdiam membisu diikuti dengan bola matanya yang membesar karena terkejut mendengar perkataan Bu Ije. “Maaf Bu, izin meluruskan. Saya berniat melapor langsung ke rumah Ibu karena kemarin saya lihat Ibu sudh pulang terlebih dahulu. Tetapi saat di rumah Ibu, kebetulan Ibu juga tidak ada di rumah saat itu. Jadi, uangnya baru bisa saya beri hari ini di sekolah,” jelas Dwi dengan nada yang lembut.
Brakkk...
Suara gebrakan meja yang dibuat oleh Bu Ije terdengar menggelegar di ruangan itu. Bu Ije terlihat marah sembari melemparkan tatapan tajam ke arah Dwi. “Kamu memang tidak sopan. Seharusnya tidak boleh memotong pembicaraan orang yang lebih tua dari kamu.”
“Ta-tapi, sa-saya hanya ingin meluruskan saja, Bu,” kata Dwi terbata-bata karena takut.
“Kamu ini jawab saja. Dimana attitude kamu? Percuma ya kamu cantik, tetapi attitude kamu beneran nol. Saya heran kenapa banyak orang yang suka sama kamu. Kalian bisa lihat sendiri kan Dwi yang sebenarnya itu adalah gadis yang minim attitude.”
Mata Dwi memerah, semua pandangan kini tertuju padanya. Beberapa mata ada yang memandang iba dan sebagian lainnya juga memandang dengan sinis sama seperti Bu Ije.
“Dengar ya, berpenampilan menarik gak menjamin kita terus disukai masyarakat. Selain wajah yang dirawat, hati juga ya Dwi biar seimbang. Cantik saja percuma Dwi,” cibir Bu Ije.
Cukup, kali ini Dwi terlihat kehilangan kesabarannya kepada Bu Ije. Bu Ije benar-benar sudah keterlaluan. Bu Ije sudah sangat mempermalukannya di depan umum untuk kesekian kalinya. Dengan mata yang sudah memanas, Dwi berdiri. Hal itu membuat semua orang melihat ke arahnya.