Mohon tunggu...
Dindaadlmnt
Dindaadlmnt Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sumatera Utara

Tidak pernah terpikir bisa berada di bidang ini, tapi yang pasti aku sangat menyukai dan menikmati setiap goresan kata yang dibalut rapi dengan beragam diksi tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melangkah di Bawah Ridho Orang Tua

5 Februari 2024   22:50 Diperbarui: 9 Februari 2024   10:48 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bu, maaf. Tanpa menghilangi rasa hormat saya ke Ibu, saya izin mengundurkan diri dari sekolah ini. Sudah cukup saya menormalisasikan semua kata-kata Ibu semenjak bekerja di sini.”

Dwi menjeda perkataannya, ia mengambil napas sebelum melanjutkan perkataannya lagi. “Bu, sejauh ini saya juga sudah berusaha keras menjadi guru yang baik di mata Ibu, tetapi memang selalu saja dipersalahkan. Apapun yang saya lakukan selalu Ibu kritik. Saya yakin, semua guru di sini juga melihat itu.”

“Bu, Sudah cukup saya mengalah mendengar semua hinaan Ibu tentang saya. Sekali lagi saya mohon maaf dan juga saya berterima kasih kepada guru-guru yang sudah membantu saya selama di sini. Saya pamit Bu, assalamu’alaikum.”

Dwi pergi meninggalkan ruang rapat itu dengan air matanya yang sudah membanjiri pipinya. Keputusannya kali ini dirasa memang sudah tepat, mengingat semua perlakuan Bu Ije kepadanya. Dengan segera, ia pun pergi meninggalkan sekolah itu.

Untuk melupakan sejenak kesedihannya, Dwi memutuskan untuk memberhentikan motornya di sebuah warung es cendol di pinggir jalan.

“Ya Allah, kenapa seberat ini? Apa dunia kerja memang sekejam ini ya? Kenapa Engkau percayakan aku untuk terjun ke lingkungan seperti itu ya Allah,” keluh Dwi yang hampir mengeluarkan air matanya lagi.

Di tengah keluhannya, Matanya tidak sengaja memandang ke arah dua orang wanita di sebrang jalan yang menggunakan almamater kampus yang pernah ia impikan. Hal itu semakin menambah kesedihannya.

“Kalau aja aku seberuntung mereka, aku pasti juga kuliah sekarang. Aku juga gak akan ngalami hal-hal yang seperti ini.”

Sepintas, ingatan tentang perdebatannya dengan sang ibu sekitar 6 bulan yang lalu soal kuliah terputar kembali di benaknya.

“Ibu...Ibu,” Dwi berteriak. “Ibu, aku lulus di universitas yang menjadi impianku, Ibu,” sambungnya lagi.

Ibu yang sedari tadi sibuk memasak di dapur pun langsung berlari mengampiri Dwi di kamarnya, “Ada apa sih Nak teriak-teriak?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun