Judul Buku: Hukum Perkawinan Islam
Penulis: H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A , Agus Hermanto, M.H.I
Kategori: HukumÂ
ISBN : 978-979-076-655-6
Ukuran: 15 cm x 21 cm
Penerbit: CV Pustaka Setia
Tahun Terbit: 2017
Buku yang berjudul Hukum Perkawinan Islam karya H. Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto ini merupakan buku yang berisi tentang dasar hukum, syarat, larangan serta tujuan perkawinan, dan lain-lain.
Buku ini berisi 10 bab, antara lain:
 -Bab 1 : Hukum Perkawinan Islam
 -Bab 2 : Larangan Perkawinan
 -Bab 3 : Hadanah
 -Bab 4 : Poligami
 -Bab 5 : Usia Perkawinan
 -Bab 6 : Nikah Mut'ah
 -Bab 7 : Nikah Sirri
 -Bab 8 : Nikah Hamil
 -Bab 9 : Nikah Beda Agama
 -Bab 10 : Perceraian atau TalakÂ
 Â
Buku ini memang dibuat dengan cukup ringkas, akan tetapi dalam buku ini disertai dengan data serta bahasa yang mudah diapahami dengan maksud agar para pembaca lebih mudah untuk memahami buku ini.Â
Buku ini mengangkat tema tentang Hukum Perkawinan Islam yaitu hukum yang mengatur ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup berketurunan yang dilangsungkan dengan syariat islam.Â
Kelebihan
Dibuat dengan cukup ringkas dan dengan bahasa yang mudah dipahami agar para pembaca cepat memahamiÂ
KekuranganÂ
Banyak halaman pada buku ini yang kosong, mungkin lebih baik apabila halaman yang kosong ini diisi dengan uraian dari penulis.
Pada Bab pertama penulis menguraikan tentang hukum perkawinan islam, didalamnya terdapat pengertian perkawinan yaitu perkawinan disebut juga pernikahan yang berasal dari kata nikah yang artinya kumpul/mengumpulkan, nikah adalah akad yang ditetapkan syara' untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan serta menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Selanjutnya dalam menetapkan hukum asal suatu perkawinan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama'. Macam-macam hukum perkawinan/pernikahan:
Wajib
Sunnah
HaramÂ
Makruh
Mubah.
Dalam UU Perkawinan tidak dibahas tentang rukun perkawinan. UU Perkawinan hanya membicarakan syarat- syarat perkawinan yang berkenaan dengan unsur atau rukun perkawinan. KHI secara jelas membahas rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi'i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.
Pada Bab kedua penulis menguraikan Larangan Perkawinan, Sebagaimana laki-laki, perempuan merupakan rukun dari perkawinan. Walaupun pada dasarnya setiap laki-laki Islam dapat menikah dengan perempuan mana pun, ada pembatasan pembatasan yang bersifat larangan.Â
Para ulama memiliki beragam pemahaman tentang larangan perkawinan, perbedaan ini bukan hanya menunjukkan keragaman pemikiran. Keragaman ini seharusnya dipahami bahwa masalah keharaman melakukan pernikahan menarik untuk dikaji. Pembahasan ini sangat penting karena selain berkaitan langsung dengan norma-norma kemanusiaan dan menyimpan persoalan syariat, serta untuk memperluas wilayah hubungan antar-sesama, juga memiliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan manusia secara umum dan berperan besar dalam mempererat tali kekeluargaan. Adapun orang yang haram dinikahi disebabkan oleh adanya hubungan nasab (keturunan atau kekerabatan), musaharah (pernikahan), dan rad' (susuan) merupakan larangan yang bersifat abadi selamanya (at-tahrim al-muabbad).
Pada Bab Ketiga penulis menguraikan tentang Hadanah. Hadanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan kebersihannya, mengusahakan pendidikannya sampai la sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebaga Muslim. Dengan cara melakukan pemeliharaan anak yang masy kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Syarat-syarat hadanah antara lain:
1. Baligh dan berakal
2. Merdeka
3. IslamÂ
4. Terpercaya dan berbudi luhur
5. Orang yang mengasuh hendaknya dalam kondisi aman
6. Mampu mendidik.
Pada Bab selanjutnya penulis menguraikan tentang Poligami, poligami dapat diartikan perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih (namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih). Secara terminologi, poligami terbagi menjadi dua, yakni poligini dan poliandri. Selanjutnya poligami dalam islam, islam membolehkan poligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka, yaitu adil dalam melayani istri, seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hal-hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak dapat berbuat adil, cukup satu istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-nisa ayat 3.Â
Pada Bab kelima penulis menguraikan tentang usia perkawinan, Menurut hukum Islam, pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam. Dalam tafsir Ayat Al-Ahkam, seorang anak laki-lak dikatakan balig apabila telah bermimpi. Sebagaimana telah disepakati ulama bahwa anak yang sudah bermimpi kemudian junub (keluar mani) maka dia telah balig. Adapun ciri-ciri wanita ketika sudah haid maka itulah batasan balig.Â
Menurut Hanafi, tanda balig bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi dan keluarnya mani, sedangkan perempuan ditandai dengan haid. Jika tidak ada tanda-tanda bagi keduanya, ditandai dengan tahun, yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Menurut Imam Malik, balig ditandai dengan keluarnya mani dalam kondisi tidur atau ditandai dengan beberapa tumbuhnya rambut di anggota tubuh. Menurut Imam Syafi'i, batasan balig adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Menurut Hanbali, bagi laki-laki ditandai dengan mimpi atau umur 15 tahun, sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haid.
Pada Bab selanjutnya penulis menguraikan tentang Nikah Mut'ah, Nikah Sirri,, Nikah Hamil, dan Nikah Beda Agama.
-Nikah Mut'ahÂ
Nikah muah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan menggunakan lafazh "tamattu, istimta" atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah muah disebut juga kawin kontrak (mu'aqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, tanpa wali atau saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut'ah disebut juga kawin sementara atau kawin putus karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu menentukan waktu. Selanjutnya Hukum Nikah mut'ah yaitu sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa hukum nikah murah adalah tidak sah. Akan tetapi, Syi'ah Imamiyah masih memperbolehkannya. Jumhur ulama melarang nikah muah dengan beberapa dalil yang diambil dari Al-Quran, sunnah, dan ijma' para ulama.
-Nikah Sirri
Nikah sirri artinya nikah rahasia atau disebut juga dengan nikah di bawah tangan. Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa pemberitahuan kepada orangtuanya yang berhak menjadi wali. Nikah sirri dilakukan dengan syarat-syarat yang benar menurut hukum Islam. Hanya pihak orangtua dari kedua belah pihak tidak diberi tahu, dan keduanya tidak meminta izin atau meminta restu orangtua, hukum nikah sirri yaitu menurut Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri, nikahnya dapat dibatalkan dan pelakunya dapat diancam dengan hukuman had berupa cambuk atau rajam, Mazhab Syafi'i dan Hanafi juga tidak membolehkan nikah sirri. Khalifah Umar ra pernah mengancam nikah sirri dengan hukuman had.
-Nikah Hamil
Nikah hamil sering diartikan dalam kajian Arab dengan istilah al-tazawwuj ni al-haml, artinya perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang sedang hamil. Hal ini terdapat dua kemungkinan; dihamili terlebih dahulu sebelum dinikahi atau dihamili oleh orang lain, kemudian menikah dengan orang yang bukan menghamilinya.
Bayi yang dilahirkan dari hasil pernikahan hamil disebut oleh ahli hukum Islam sebagai istilah ibn al-zinaa atau ibn al- mula'ana. Jadi, nama tersebut dinisbatkan kepada kedua orangtua yang telah berbuat zina atau melakukan perbuatan dosa. Adapun bayi yang dilahirkannya tetap suci dari dosa dan tidak mewarisi atas dosa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Hukum Nikah hamil menurut para ulama' di antaranya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hanbali, pernikahan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan apabila pria tersebut yang menghamilinya kemudian ia mengawininya, tetap keduanya dianggap sebagai pezina.
-Nikah Beda Agama
1. Menikahi wanita musyrik
Haram bagi seorang Muslim untuk menikah dengan kafir majusi, baik ia menyembah api, komunisme, politeisme, perempuan zindiq, maupun berhala sudah dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 221.
2. Laki-laki muslim halal menikah dengan perempuan ahli kitab yang merdeka, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 5.
3. Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan bukan muslim.
Para ulama' berpendapat bahwa seorang wanita muslim menikah dengan pria selain muslim hukumnya haram, baik musyrik maupun ahli kitab.
Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa pernikahan beda agama haram hukumnya. Hal ini berdasar Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 211, Al-Ma'idah ayat 5, Al-Mumtahanah ayat 10, dan At-Tahrim ayat 6. Selain Al-Quran, juga hadis Rasulullah SAW. "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dan bagian yang lain (H.R. Al-Tabrani). Adapun hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura, "Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan dengan lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, dan Majusi
Oleh sebab itu, MUI berpendapat bahwa pernikahan beda agama hukumnya haram. MUI menambalikan terdang perkawinan laki-laki Muslim dengan ahli kitab, "Setelah mempertimbangkan mudaratnya lebih besar dari pada maslahatnya, MUI memfatwakan bahwa pernikahan itu haram hukumnya."
Adapun ulama Nahdhatul Ulama (NU) juga telah menetap kan fatwa tentang nikah beda agama. Ulama NU menegaskan bahwa nikah dengan orang yang berbeda agama di Indonesia hukumnya tidak sah (haram).
Selanjutnya pada Bab terakhir penulis menguraikan tentang Talak atau Perceraian.
Pengertian TalakÂ
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba'in. Adapun arti mengurangi melepaskan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj'i.
Apabila sudah terjadi perkawinan, yang harus dihindari adalah perceraian. Semakin kuat usaha seseorang dalam membangun rumah tangganya, semakin mudah ia menghindarkan dari perceraian. Perceraian mendatangkan kemudaratan, sedangkan sesuatu yang mendatangkan kemudaratan haruslah dihindarkan meskipun meninggalkannya berdampak buruk bagi yang lainnya.Â
Penulis juga memaparkan macam-macam talak diantaranya yaitu:
Talak Raj'i
Talak raj'i adalah talak ketika suami masih mempunyai hak untuk merujuk atau talak yang masih memungkinkan bagi suami untuk kembali kepada istrinya tanpa akad nikah baru. Talak pertama dan kedua yang dijatuhkan suami terhadap istri yang sudah pernah dicampuri dan bukan atas permintaan istri yang disertai tebusan ('iwad), selama masih dalam masa iddah disebut juga talak raj'i.
Talak Ba'in
Talak ba'in adalah talak yang tidak memungkinkan suaminya untuk rujuk kepada istrinya, kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
Lafadz Talak
Berdasarkan ketentuan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 229, talak hanya dua kali yang dapat dirujuk, artinya dalam menjatuhkan talak harus satu demi satu, tidak sekaligus Suami dapat menjatuhkan talak kepada istrinya dua kali, dengan harapan talak pertama cukup menjadi pelajaran untuk introspeksi diri. Jika tidak berhasil, suami dapat menjatuhkan talak yang kedua. Jika setelah rujuk pun tidak tercapai rumah tangga yang sakinah, suami dapat melanjutkan talak terakhir (talak tiga), dan tidak boleh rujuk lagi.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa talak dua itu bukan diucapkan dua kali sekaligus, melainkan dilakukan secara bertahap. Demikian pula talak tiga, tidak diucapkan tiga kali sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Allah SWT memberikan talak sebanyak tiga kali untuk memberikan kesempatan berpikir kepada suami istri dalam menentukan rumah tangganya akan diteruskan atau tidak. Oleh sebab itu, Allah SWT memberikan tahapan dalam menjatuhkan talak.
Demikian sedikit ulasan tentang Buku Hukum Perkawinan Islam, mungkin terdapat banyak kesalahan dalam hal penulisan dan tanggapan yang kurang berkenan mohon maaf sebesar-besarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H