Pada Bab kelima penulis menguraikan tentang usia perkawinan, Menurut hukum Islam, pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam. Dalam tafsir Ayat Al-Ahkam, seorang anak laki-lak dikatakan balig apabila telah bermimpi. Sebagaimana telah disepakati ulama bahwa anak yang sudah bermimpi kemudian junub (keluar mani) maka dia telah balig. Adapun ciri-ciri wanita ketika sudah haid maka itulah batasan balig.Â
Menurut Hanafi, tanda balig bagi seorang laki-laki ditandai dengan mimpi dan keluarnya mani, sedangkan perempuan ditandai dengan haid. Jika tidak ada tanda-tanda bagi keduanya, ditandai dengan tahun, yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Menurut Imam Malik, balig ditandai dengan keluarnya mani dalam kondisi tidur atau ditandai dengan beberapa tumbuhnya rambut di anggota tubuh. Menurut Imam Syafi'i, batasan balig adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Menurut Hanbali, bagi laki-laki ditandai dengan mimpi atau umur 15 tahun, sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haid.
Pada Bab selanjutnya penulis menguraikan tentang Nikah Mut'ah, Nikah Sirri,, Nikah Hamil, dan Nikah Beda Agama.
-Nikah Mut'ahÂ
Nikah muah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan menggunakan lafazh "tamattu, istimta" atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah muah disebut juga kawin kontrak (mu'aqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, tanpa wali atau saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut'ah disebut juga kawin sementara atau kawin putus karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu menentukan waktu. Selanjutnya Hukum Nikah mut'ah yaitu sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa hukum nikah murah adalah tidak sah. Akan tetapi, Syi'ah Imamiyah masih memperbolehkannya. Jumhur ulama melarang nikah muah dengan beberapa dalil yang diambil dari Al-Quran, sunnah, dan ijma' para ulama.
-Nikah Sirri
Nikah sirri artinya nikah rahasia atau disebut juga dengan nikah di bawah tangan. Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa pemberitahuan kepada orangtuanya yang berhak menjadi wali. Nikah sirri dilakukan dengan syarat-syarat yang benar menurut hukum Islam. Hanya pihak orangtua dari kedua belah pihak tidak diberi tahu, dan keduanya tidak meminta izin atau meminta restu orangtua, hukum nikah sirri yaitu menurut Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri, nikahnya dapat dibatalkan dan pelakunya dapat diancam dengan hukuman had berupa cambuk atau rajam, Mazhab Syafi'i dan Hanafi juga tidak membolehkan nikah sirri. Khalifah Umar ra pernah mengancam nikah sirri dengan hukuman had.
-Nikah Hamil
Nikah hamil sering diartikan dalam kajian Arab dengan istilah al-tazawwuj ni al-haml, artinya perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang sedang hamil. Hal ini terdapat dua kemungkinan; dihamili terlebih dahulu sebelum dinikahi atau dihamili oleh orang lain, kemudian menikah dengan orang yang bukan menghamilinya.
Bayi yang dilahirkan dari hasil pernikahan hamil disebut oleh ahli hukum Islam sebagai istilah ibn al-zinaa atau ibn al- mula'ana. Jadi, nama tersebut dinisbatkan kepada kedua orangtua yang telah berbuat zina atau melakukan perbuatan dosa. Adapun bayi yang dilahirkannya tetap suci dari dosa dan tidak mewarisi atas dosa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Hukum Nikah hamil menurut para ulama' di antaranya Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hanbali, pernikahan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan apabila pria tersebut yang menghamilinya kemudian ia mengawininya, tetap keduanya dianggap sebagai pezina.