Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kue untuk Tuhan

25 Januari 2025   09:53 Diperbarui: 25 Januari 2025   09:53 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku baru saja selesai membuang puntung rokok ke genangan air di depan halte bus kosong ketika pria tua itu muncul. Jasnya kebesaran, seperti milik seseorang yang sudah lama mati, dan tangannya menggenggam sebuah kotak kue kecil. Krim di atasnya terlihat mulai mencair, meninggalkan noda lengket di tepi karton.

"Hei, kamu," katanya, tanpa pendahuluan. "Mau jadi kurir Tuhan?"

Aku memandangnya, mencoba memastikan apakah dia serius. Bukan karena aku keberatan dipanggil begitu---aku sering dianggap orang aneh---tapi karena jarang ada orang yang mendekatiku dengan pertanyaan seperti itu.

"Maksudmu Tuhan?" tanyaku, memancing penjelasan. "Tuhan yang mana?"

"Tuhan yang lapar," jawabnya datar, seolah-olah itu sudah jelas. Ia mengangkat kotak kue itu sedikit, seperti seorang pelayan yang sedang memamerkan menu spesial hari ini. "Dia suka kue. Dan aku butuh seseorang untuk memberikannya ke Dia."

Aku tidak langsung menjawab. Pertama, karena aku ragu pria ini waras. Kedua, karena aku juga ragu pada kewarasanku sendiri, sebab alih-alih menertawakannya dan berjalan pergi, aku malah bertanya, "Kenapa aku?"

Dia mengangkat bahu. "Karena kamu di sini."

Tidak ada argumen yang bisa kubantah dari situasi ini. Aku memandang sekeliling, mencari orang lain yang mungkin lebih layak ditawari pekerjaan absurd ini, tapi halte bus kosong.

"Apa aku dibayar?" tanyaku akhirnya.

"Tidak."

"Tentu saja," gumamku sambil mendengus. Tapi sesuatu dalam caranya menatapku---mata yang keruh, tapi anehnya penuh keyakinan---membuatku ragu untuk langsung menolaknya.

"Lihat," kataku akhirnya. "Aku nggak tahu di mana Tuhan tinggal. Aku nggak pernah dapat alamat-Nya."

Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang seolah mengatakan, Oh, ini bagian yang menarik. "Tuhan ada di tempat yang tidak kita cari," katanya. "Dan aku yakin kamu tahu di mana itu."

***

Aku berjalan menyusuri trotoar dengan kotak kue itu di tangan, merasa seperti seorang kurir yang sedang mengantar pesanan paling aneh di dunia. Aku tidak tahu harus ke mana. Tapi setiap langkah terasa seperti teka-teki yang mendekatkan aku pada jawaban yang tidak kumengerti.

Di sudut jalan, aku melihat seorang anak kecil sedang duduk di pinggir trotoar, mengunyah sesuatu. Gigi depannya hilang, membuat senyumnya terlihat seperti senyuman kelinci.

"Hei," panggilku. "Kamu tahu di mana aku bisa menemukan Tuhan?"

Dia menatapku, lalu pada kotak kue di tanganku. "Tuhan suka kue rasa stroberi," katanya sambil menunjuk ke arah jalan utama. "Coba ke toko permen di sana. Dia sering mampir kalau lapar."

"Toko permen?" Aku mengernyit.

Dia mengangguk, sambil memasukkan sesuatu ke mulutnya. "Tapi hati-hati. Kadang Dia nggak bayar."

***

Toko permen itu kecil, hampir tidak terlihat dari luar. Lonceng di pintu berbunyi saat aku masuk, dan seorang pria tua dengan celemek yang penuh noda berdiri di belakang meja. Aku menunjukkan kotak kue itu padanya.

"Kamu pernah lihat Tuhan di sini?" tanyaku, merasa konyol begitu kalimat itu keluar dari mulutku.

Pria itu memiringkan kepalanya, mengamati kotak itu. "Dia suka permen karet rasa stroberi," katanya akhirnya. "Tapi aku nggak tahu Dia suka kue."

"Jadi kamu tahu di mana Dia?"

Pria itu menggeleng. "Kalau aku tahu, aku nggak akan di sini menjual permen."

Aku hampir menyerah, tapi kemudian pria itu menambahkan, "Coba ke gereja di ujung jalan. Pendeta di sana suka ngomong soal Tuhan."

***

Gereja itu gelap dan sunyi, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip di altar. Aku menemukan pendeta sedang duduk di bangku panjang, bermain catur dengan patung Yesus di atas altar.

"Skak mat," gumamnya sambil memindahkan bidak. Dia bahkan tidak menoleh ketika aku mendekat.

"Permisi," kataku, mencoba menarik perhatiannya.

Dia mendongak, akhirnya menyadari keberadaanku. "Kamu mau apa?" tanyanya sambil mengusap janggutnya yang berantakan.

Aku mengangkat kotak kue itu. "Aku mencari Tuhan. Kamu tahu di mana Dia?"

Pendeta itu menatapku lama, seolah sedang mencoba membaca pikiranku. "Kenapa kamu cari Dia?"

"Ada seseorang yang bilang Tuhan lapar," jawabku, mencoba terdengar serius.

Dia tertawa, suara tawa yang dalam dan serak. "Tuhan nggak lapar," katanya. "Tapi kalau kamu benar-benar mau menemukan Dia, coba ke bar di seberang jalan. Tuhan sering muncul di sana saat malam."

***

Bar itu penuh dengan asap rokok dan suara gelas berdenting. Aku masuk dengan kotak kue itu di tangan, merasa seperti seorang vegan yang tersesat di tempat pemujaan daging.

Bartendernya adalah pria besar dengan tato di lehernya yang bertuliskan "DOSA." Dia menatap kotak kue di tanganku dengan alis terangkat.

"Kamu nyari Tuhan?" tanyanya sambil menuangkan bir ke gelas.

Aku mengangguk.

Dia mendengus. "Kalau Tuhan datang ke sini, Dia nggak bakal pesan kue. Dia selalu pesan bir."

"Serius?"

Dia mengangguk lagi. "Dan Dia nggak pernah bayar. Tapi terakhir kali Dia kasih aku tips. Nomor lotre yang menang."

Aku berdiri di sana, bingung harus percaya atau tidak.

"Kalau kamu mau coba," katanya sambil menunjuk ke belakang. "Ada pintu di sana. Kadang Dia nongkrong di belakang."

Aku berjalan menuju pintu belakang itu, berharap menemukan sesuatu. Tapi yang ada hanyalah lorong gelap yang penuh dengan bau sampah. Aku berdiri di sana, memegang kotak kue ini seperti orang bodoh, bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan dengan hidupku.

***

Di belakang bar, ada lorong gelap yang berbau seperti sampah basah dan sesuatu yang mati. Di sana aku menemukannya: seorang pria dengan kaus yang robek di bagian pundak, duduk di lantai dengan lutut yang ditarik ke dadanya.

Dia melihatku dan tersenyum kecil. "Kamu bawa itu untukku?" tanyanya, suaranya serak seperti suara seseorang yang sudah lama tidak bicara.

Aku menyerahkan kotak itu tanpa berkata apa-apa. Dia membukanya perlahan, mengambil sepotong kecil, lalu memasukkannya ke mulut.

Rasanya ada sesuatu yang berubah di udara saat itu, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, seperti dunia ini sedang berhenti untuk mengamati apa yang sedang terjadi.

Dia mengunyah dengan tenang, lalu berdiri dan menepuk bahuku. "Terima kasih," katanya, sebelum berjalan pergi, menghilang di lorong seperti kabut yang menguap di bawah matahari.

Aku berdiri di sana lama setelah Dia pergi, memandang kotak kosong di tanganku, bertanya-tanya apakah aku baru saja bertemu Tuhan atau hanya seorang pria lapar.

Tapi mungkin itu sama saja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun