Membaca itu mudah, kata mereka, cukup buka buku, serap kata-katanya, dan selesai. Tapi kita tahu itu tidak selalu benar.
Membaca buku, aktivitas yang dulu dianggap sepele, kini terasa seperti mendaki gunung Himalaya. Di era ketika segala sesuatu bisa dijangkau dalam sekejap, kata-kata dalam buku tampaknya kehilangan cengkeraman.
Mata masih menyapu halaman, tetapi pikiran entah terbang kemana. Seperti janji yang terlupakan.
Apakah kita sudah terlalu tua untuk membaca buku, atau kita hanya tertelan oleh kebiasaan baru yang datang dengan harga mahal: konsentrasi yang tak bertahan lama?
Mari kita hadapi ini secara blak-blakan. Fenomena kehilangan fokus ini bukan hanya persoalan teknis membaca, tapi juga soal eksistensi, soal harga diri.
Ketidakmampuan kita untuk tetap berada dalam buku mungkin adalah pertanyaan besar zaman ini---apa yang telah kita tukarkan demi kecepatan informasi? Dan yang lebih penting, bisakah kita mendapatkannya kembali?
Fenomena Zoning Out: Sandiwara Fokus dan Realitas yang Lain
Kita bisa menyebutnya "zoning out" atau pikiran mengembara. Anda membaca satu halaman, dan mendadak otak memutuskan untuk berlibur.
Tiba-tiba Anda memikirkan tagihan listrik, atau bertanya-tanya mengapa Anda tidak membeli sepatu baru bulan lalu. Mata masih tertuju pada halaman buku, tetapi pikiran sudah berada jauh di tempat lain.
Ada suara kecil yang berkata, "Ayo, kembali ke buku," tetapi suara itu tertahan. Lebih mudah menyerah dan membuka media sosial, mencari hiburan cepat yang memuaskan tanpa tuntutan untuk berpikir.
Tentu saja, fenomena ini bukanlah hal baru. Di dunia medis, ada sebuah istilah yang disebut hyper-intention, dijelaskan oleh Viktor Frankl dalam Man's Search for Meaning.
Ketika seseorang begitu khawatir untuk tidak fokus, kecemasan itu justru menjadi pusat perhatian mereka.
Mereka takut akan kegagalan dan justru malah menciptakannya. Kecemasan itu menciptakan lingkaran setan; semakin kita memikirkan soal gagal fokus, semakin sulit kita benar-benar fokus. Ini lucu, jika tidak tragis.
Kita adalah generasi yang mengutuk televisi atas hilangnya tradisi membaca, lalu menjatuhkan televisi demi komputer, kemudian melempar komputer untuk ponsel.
Sekarang, di titik ini, kita mengutuk ponsel karena tak bisa membaca buku. Bagaimana jika semua ini adalah sekadar paradoks tanpa jawaban?
Atau mungkin jawaban itu sudah ada, tapi kita terlalu sibuk melihat layar ponsel untuk menyadarinya.
Cinta Lama yang Terasingkan: Buku Bukan Lagi Prioritas
Bayangkan, sebuah buku fisik di tangan Anda, beratnya mengingatkan pada era ketika membaca adalah aktivitas yang layak dilakukan tanpa gangguan.
Namun, saat ini, membaca buku lebih sulit daripada membalik berita di ponsel atau melompat dari satu video ke video lainnya.
Kualitas "berat" dari buku justru menghalangi kita, mengingatkan kita bahwa setiap halaman adalah janji kesetiaan. Buku tidak memberi Anda gangguan---itulah masalahnya.
Ada yang bilang solusi mudah adalah memilih buku yang lebih menarik, yang relevan. Mungkin Anda lebih suka novel yang lucu, atau kisah petualangan yang ringan.
Tapi, mari kita jujur, ini bukan soal bukunya. Ini soal otak yang tidak lagi terlatih untuk tetap berada dalam satu ruang imajinasi yang sama untuk waktu lama.
Membaca bukan sekadar menyerap cerita. Ini adalah upaya untuk hidup dalam narasi lain. Dan masalahnya adalah, semakin banyak kita terbiasa dengan gangguan, semakin sulit bagi kita untuk tinggal di satu narasi.
Bukan salah buku, tetapi siapa yang punya waktu atau kesabaran untuk duduk diam selama berjam-jam di zaman ini?
Bahkan mereka yang mencintai buku sekarang jarang membaca tanpa jeda. Bukan berarti kita tidak ingin, tetapi kita tidak bisa. Dan itu perbedaan yang besar.
Ritual Baru Membaca: Melepaskan Ketakutan akan Keterbatasan
Mungkin ini bukan soal memaksa diri membaca lebih cepat atau lebih lama, tetapi belajar untuk menerima bahwa kita membaca dengan kecepatan kita. Seperti meditasi, ada nilai dalam keterbatasan.
Ambil satu halaman dan berhenti berpikir tentang apa yang harus terjadi selanjutnya. Bacalah dengan niat untuk memahami, bukan untuk mencapai target halaman.
Saya pernah mencoba teknik yang aneh namun bermanfaat: membaca sambil menerima bahwa saya mungkin akan kehilangan fokus.
Saya berhenti mengkhawatirkan kecepatan, berhenti membandingkan dengan orang lain yang bisa menyelesaikan buku dalam sehari. Saya bahkan berhenti peduli apakah saya mengerti seluruh kalimat atau tidak.
Dan saat itulah, tanpa saya sadari, saya menjadi lebih fokus. Tentu saja, ini bukan solusi ajaib. Tapi menerima batas diri memberi saya kelegaan. Dan anehnya, konsentrasi saya perlahan membaik.
Lingkungan Tanpa Layar: Eksperimen Tak Terduga di Dunia Modern
Lingkungan adalah kunci. Tempat Anda membaca bisa mengubah seluruh pengalaman. Berada dalam ruangan yang penuh layar, notifikasi, atau bahkan bising kehidupan sehari-hari adalah resep kegagalan.
Letakkan ponsel di tempat yang tidak bisa Anda jangkau. Buatlah sebuah ritual, kecil namun konsisten. Duduklah di ruangan tenang, ambil buku, dan beri diri Anda izin untuk membaca tanpa gangguan.
Ini terdengar sederhana, tapi di zaman ketika layar adalah segalanya, menemukan ruang tanpa gangguan adalah tantangan yang nyata.
Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi ruang tanpa gangguan adalah salah satu kemewahan terbesar yang bisa kita miliki. Bayangkan saja, di kota seperti New York atau Jakarta, ruang tanpa gangguan bagaikan oase di gurun teknologi.
Membaca adalah lari Jarak Jauh, Bukan Sprint
Jika ada satu hal yang bisa kita pelajari dari berlari, mungkin ini: Jangan paksa diri Anda untuk menyelesaikan buku secepat mungkin.
Membaca bukan sprint, tetapi marathon. Ambil waktu Anda, ambil nafas. Anda tidak perlu merasa bersalah jika baru membaca sepuluh menit dan terpaksa berhenti. Membaca itu seperti berlatih, dan kebiasaan ini harus tumbuh secara perlahan.
Mulailah dengan target yang masuk akal. Lima belas menit per hari, tanpa gangguan. Lalu, tambah menjadi dua puluh menit.
Seperti seorang pelari yang memperpanjang jarak setiap minggu, pembaca juga butuh waktu untuk membangun stamina. Ingat, bukan jumlah halaman yang penting, tetapi waktu yang Anda investasikan dalam setiap kalimat.
Kisah Lama yang Terlupakan: Mengapa Kita Harus Peduli?
Akhirnya, mengapa ini penting? Mengapa kita perlu berusaha keras untuk kembali membaca buku di dunia yang penuh gangguan ini?
Sederhana saja, karena membaca adalah salah satu cara untuk kembali ke diri sendiri. Di balik setiap halaman ada ide, ada pemikiran, ada perasaan yang tak bisa Anda dapatkan dari sekedar melihat linimasa sosial media.
Membaca adalah satu dari sedikit aktivitas yang membawa kita kembali pada esensi, pada keheningan yang jarang kita rasakan.
Sebagian orang mungkin bertanya, "Mengapa harus bersusah payah membaca buku? Apa bedanya dengan hiburan lainnya?"
Bedanya adalah, membaca mengharuskan kita untuk menjadi lebih dari sekedar pengamat.
Ini adalah sebuah pengalaman hidup yang melibatkan imajinasi, refleksi, dan keterbukaan pikiran. Dan semua itu adalah kualitas yang terancam punah di dunia yang serba cepat ini.
Akhirnya, Menerima Keterbatasan, Menghargai Proses
Menjadi pembaca yang baik tidak selalu berarti membaca cepat atau banyak. Ini tentang menciptakan momen untuk hadir sepenuhnya di tengah kesibukan dunia.
Jika Anda sering kehilangan fokus, ingatlah bahwa ini adalah bagian dari proses. Tidak semua halaman harus dipahami secara mendalam, tidak semua bab harus tuntas dalam sekali duduk.
Kadang-kadang, yang terpenting adalah memberikan waktu bagi pikiran untuk mengendap dan kembali dengan rasa ingin tahu yang baru.
Buku bukan sekadar bacaan, tapi latihan kesabaran, kedewasaan, dan kepekaan terhadap diri sendiri.
Di zaman di mana semua orang ingin cepat, mungkin satu-satunya cara untuk benar-benar menghidupkan kembali gairah membaca adalah dengan memperlambat langkah kita.
Membiarkan setiap kata menjadi bagian dari kita tanpa tergesa-gesa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H