Padahal, pada akhirnya, kontrol itu semu, dan yang terjadi adalah terjebaknya mereka di antara deretan mobil dengan durasi yang seolah tak ada habisnya.
Logika di Balik Pengorbanan Waktu
Menariknya, perilaku liburan ini memiliki dimensi ekonomi yang dalam. Dalam sebuah artikel oleh Harvard Business Review, psikolog menjelaskan bahwa orang cenderung mengejar kenikmatan, meski harus mengorbankan hal yang berharga seperti waktu.Â
Mereka lebih mengutamakan pengalaman dan momen yang diinginkan daripada penghematan waktu dan tenaga.Â
Fenomena ini berkaitan dengan psikologi konsumsi, di mana liburan dianggap sebagai investasi emosional. Pengorbanan waktu menjadi bagian dari proses ini.
Seperti yang ditemukan oleh penelitian pada perilaku konsumen, situasi stres seperti kemacetan bahkan dapat memperkuat dorongan untuk tetap berlibur, karena adanya dorongan untuk "menikmati hidup" yang lebih kuat saat seseorang merasa lelah atau tertekan.
Puncak, bagi sebagian orang, bukan hanya tempat liburan, tetapi pelarian simbolis dari kebosanan dan ketertekanan sehari-hari.
Kemacetan Sebagai Ritual yang Terulang
Namun, kemacetan di Puncak bukanlah fenomena baru. Masalah ini telah berulang selama bertahun-tahun dan tetap saja belum ada solusi nyata.Â
Pemerintah mencoba mengatasi dengan sistem buka-tutup jalan, namun efektivitasnya dipertanyakan. Macet tetap macet, walau dikelola.
Mengapa masalah ini terus terulang? Salah satunya adalah ketidakmampuan infrastruktur untuk menyesuaikan diri dengan lonjakan volume kendaraan selama liburan.Â
Menambah kapasitas jalan tampaknya bukan solusi yang cukup efektif, karena sifatnya sementara dan selalu ada kecenderungan peningkatan volume kendaraan yang tidak terprediksi dengan baik.