Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - eklegein

Meminati Filsafat//Sejarah//Ilmu Pendidikan --- Film, Bola, dan AS Roma. Menyukai diskusi mencerahkan yang memperluas wawasan. Menyukai diskusi dan introspeksi yang membuka wawasan baru tentang kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kenapa Manusia Rela Berjam-jam di Jalan Demi Secuil Kepuasan?

18 September 2024   09:16 Diperbarui: 18 September 2024   12:37 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Viral kemacetan parah terjadi di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. (Foto: Tangkapan layar Instagram Bogorkeun).

Lucu, manusia zaman sekarang. Mereka percaya bahwa melarikan diri sejenak bisa memperbaiki hidup. Entah liburannya yang menyenangkan atau kita yang harus meyakinkan diri bahwa ini menyenangkan.

Kota Puncak, Bogor, adalah salah satu destinasi wisata yang selalu menarik perhatian penduduk perkotaan, terutama dari Jakarta.

Namun, sudah jadi rahasia umum bahwa liburan ke Puncak di akhir pekan atau hari libur panjang adalah sinonim dengan kemacetan yang mengular. 

Pertanyaan sederhana muncul: Mengapa kita tetap pergi meski tahu bakal berjam-jam terjebak di jalan? Jawaban atas dilema ini mengandung unsur psikologi, sosiologi, bahkan ekonomi.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Puncak, melainkan di berbagai destinasi wisata populer lainnya. Puncak menjadi representasi dari ritual liburan yang penuh sesak oleh rutinitas kemacetan. 

Tahun demi tahun, ribuan orang berbondong-bondong menuju tempat yang sama, meskipun tahu bahwa perjalanan ke sana akan lebih lama daripada waktu yang dihabiskan menikmati pemandangan. Lalu, kenapa tetap pergi?

Mencari Pelarian di Tengah Kekacauan

Manusia modern hidup dalam tekanan. Penelitian dari National Institutes of Health menemukan bahwa tingkat stres perkotaan yang tinggi sering memicu perilaku konsumtif dan impulsif sebagai bentuk pelarian. 

Sebuah liburan menawarkan janji kelegaan sementara, meskipun realitas yang dihadapi di jalan berbentuk kemacetan. Mengapa kita tetap melakukannya?

Satu alasannya adalah ilusi kontrol. Dalam dunia yang serba cepat, liburan menjadi simbol kebebasan. Ketika seseorang merencanakan perjalanan ke Puncak, meski dengan segala prediksi macet, ia merasa seolah memiliki kendali penuh atas waktu.

Pengambilan keputusan untuk tetap berlibur seakan memberi mereka ruang untuk "melawan" tekanan harian. 

Padahal, pada akhirnya, kontrol itu semu, dan yang terjadi adalah terjebaknya mereka di antara deretan mobil dengan durasi yang seolah tak ada habisnya.

Logika di Balik Pengorbanan Waktu

Menariknya, perilaku liburan ini memiliki dimensi ekonomi yang dalam. Dalam sebuah artikel oleh Harvard Business Review, psikolog menjelaskan bahwa orang cenderung mengejar kenikmatan, meski harus mengorbankan hal yang berharga seperti waktu. 

Mereka lebih mengutamakan pengalaman dan momen yang diinginkan daripada penghematan waktu dan tenaga. 

Fenomena ini berkaitan dengan psikologi konsumsi, di mana liburan dianggap sebagai investasi emosional. Pengorbanan waktu menjadi bagian dari proses ini.

Seperti yang ditemukan oleh penelitian pada perilaku konsumen, situasi stres seperti kemacetan bahkan dapat memperkuat dorongan untuk tetap berlibur, karena adanya dorongan untuk "menikmati hidup" yang lebih kuat saat seseorang merasa lelah atau tertekan.

Puncak, bagi sebagian orang, bukan hanya tempat liburan, tetapi pelarian simbolis dari kebosanan dan ketertekanan sehari-hari.

Kemacetan Sebagai Ritual yang Terulang

Namun, kemacetan di Puncak bukanlah fenomena baru. Masalah ini telah berulang selama bertahun-tahun dan tetap saja belum ada solusi nyata. 

Pemerintah mencoba mengatasi dengan sistem buka-tutup jalan, namun efektivitasnya dipertanyakan. Macet tetap macet, walau dikelola.

Mengapa masalah ini terus terulang? Salah satunya adalah ketidakmampuan infrastruktur untuk menyesuaikan diri dengan lonjakan volume kendaraan selama liburan. 

Menambah kapasitas jalan tampaknya bukan solusi yang cukup efektif, karena sifatnya sementara dan selalu ada kecenderungan peningkatan volume kendaraan yang tidak terprediksi dengan baik.

Transportasi Publik dan Regulasi Ketat

Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Pemerintah daerah harus memikirkan untuk membangun jaringan transportasi publik yang andal dan mudah diakses. 

Jika orang-orang diberi alternatif yang nyaman, seperti kereta atau bus yang langsung menuju ke daerah wisata, banyak yang mungkin akan lebih memilih itu daripada terjebak di jalanan.

Selain itu, pembatasan kendaraan pribadi yang masuk ke kawasan wisata pada waktu-waktu tertentu, mirip dengan aturan di beberapa negara maju, bisa menjadi opsi. 

Jepang, misalnya, terkenal dengan sistem transportasi massal yang efisien, bahkan ke destinasi wisata terpadat sekalipun. Puncak, dengan lokasinya yang relatif dekat dengan Jakarta, bisa memanfaatkan solusi serupa.

Penyediaan sistem park and ride---di mana kendaraan pribadi parkir di tempat tertentu dan wisatawan melanjutkan perjalanan dengan transportasi publik---juga bisa diterapkan. 

Tentu saja, semua ini memerlukan infrastruktur yang solid dan kampanye kesadaran dari pemerintah agar masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke publik.

Tips Berlibur Tanpa Harus Terjebak Macet

Bagi mereka yang masih memilih untuk menikmati liburan di tengah kemacetan, ada beberapa tips yang dapat membantu mengurangi stres perjalanan. 

Pertama, rencanakan waktu perjalanan di luar puncak arus mudik. Berangkat lebih awal atau memilih hari-hari biasa di luar long weekend akan mengurangi kemungkinan terjebak di jalan.

Kedua, gunakan aplikasi navigasi dan pemantau lalu lintas secara bijak. Teknologi modern bisa menjadi teman baik dalam memilih rute alternatif yang lebih sepi. 

Ketiga, persiapkan mental. Kadang-kadang, kesenangan dalam perjalanan bukan pada kecepatan mencapai tujuan, tetapi pada bagaimana kita menikmati setiap momen, bahkan di tengah kemacetan.

Refleksi: Sebuah Tradisi Modern?

Pada akhirnya, liburan ke Puncak yang penuh macet bisa dilihat sebagai semacam tradisi modern. Ini bukan hanya soal mencapai destinasi, melainkan sebuah perjalanan yang sarat dengan makna. 

Ritual kemacetan menjadi bagian dari cerita yang dibawa pulang, sebuah ironi dalam pencarian kebahagiaan di tengah tekanan hidup perkotaan.

Mungkin, jawabannya ada pada diri kita sendiri. Apakah kita benar-benar mencari pelarian, atau hanya sebuah ilusi? Macet mungkin tak bisa dihindari, tapi bagaimana kita menghadapinya, itu pilihan kita.

Puncak bukan hanya sekadar tempat berlibur. Ia adalah cermin, sebuah metafora, tentang bagaimana kita menghadapi kehidupan yang penuh tekanan. 

Terjebak di jalan, terjebak dalam rutinitas, kita terus bergerak, mencari, meski tahu bahwa kebahagiaan yang akan kita dapat kadang hanya secuil, sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun