Tips lain juga bisa dengan memasang tulisan yang cantik di dekat meja makan. Misalnya, "silakan ambil secukupnya dan habiskan". Bisa juga "jangan menyisakan nasi dan lauk di piring". Bisa juga dengan imbauan yang lain.
Ini penting karena jumlah massa yang hadir itu bisa sampai ratusan bahkan ribuan. Bayangkan ada ribuan piring dengan nasi yang banyak dan lauk yang hanya dimakan separuh.Â
Alangkah mirisnya kita. Di saat ada saudara kita yang sulit makan, di hajatan malah makanan dihambur-hamburkan penuh kemubaziran.
Tuan rumah tentu senang makanan yang ia sajikan ludes sesuai dengan jumlah tamu yang datang. Namun, ia bakal terperangah juga saat tahu di bagian belakang gedung, sampah makanan menumpuk.
Lantas, apa kaiatan ini dalam konteks menjaga lingkungan dari limbah domestik? Tentu saja berkaitan sangat erat.
Begini ilustrasinya. Di kota saya, Bandar Lampung, dalam sehari, tempat pembuangan akhir (TPA) Bakung di Kecamatan Telukbetung Barat, menerima minimal seribu ton sampah.Â
Pola mekanisme pengelolaan sampah di sini masih open dumping. Sampah yang masuk hanya ditempatkan secara terbuka begitu saja.
Pemisahan organik dan anorganik sedari rumah tangga belum begitu marak. Jadi, semua sampah menyatu. Campur baur.Â
Termasuk sampah makanan dari tempat hajatan atau kondangan. Karena open dumping, sampah lama kemudian bercampur dengan yang baru. Demikian saban hari.
Karena sampah ini punya energi, ia membahayakan jika tersulut sedikit saja api. Kejadian ini bukannya tidak pernah terjadi. Ini betulan sungguh terjadi.Â
Bahkan, Oktober tahun lalu, kebakaran di TPA Bakung ini luar biasa dampaknya. Hampir seminggu asap bakaran dari tempat sampah akbar ini membubung dan masuk ke tengah kota.