Memang bekerja di media massa kita sulit untuk benar-benar bebas dari intervensi. Namun, bukan berarti tidak bisa. Minimal kepada objek liputan.Â
Kita mesti punya sikap. Tidak punya sikap kebanyakan karena permisif dengan amplop. Tentu bukan amplopnya, tetapi dengan uang yang ada di amplop.
Kalau media massa gembar gembor agar pejabat negara tidak terima gratifikasi, insan pers mestinya begitu juga. Maka itu, bagus punya prinsip antisuap, antiamplop, dan antisogok. Pasalnya, jika kita bisa menjaga itu semua, kita bisa independen terhadap objek liputan.
Akan tetapi, kalau kita sudah permisif dengan amplop, sulit bagi kita berlaku independen. Kita takkan bisa merdeka dalam menulis.Â
Sebab, pemberian itu, dari narasumber, misalnya, selalu terbayang. Kawan saya bilang, tangan yang menerima takkan bakal bisa melawan tangan yang memberi, Adian.
Dalam agama Islam, juga agama lain, tak boleh kita terima suap. Suap atau rasuah dilarang. Yang memberi dan menerima semua masuk negara, eh neraka. Astagfirullah. Â
Kalau media massa permisif gratifikasi dari narasumber atau penguasa, ke mana warga hendak membaca berita kritis. Ke media massa mana lagi mereka mesti percaya. Dan kemana lagi harapan pembaca hendak diapungkan.
Dalam sebuah hadis, merujuk pada poin ini, disebutkan. "Jihad paling tinggi itu berucap sesuatu yang benar kepada penguasa yang zalim." Duh, beratnya...
Kelima, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan
Ini juga tema yang berat. Masih ada kaitan erat dengan pembahasan soal independensi.Â
Kekuasaan di mana-mana itu cenderung korup atau menyeleweng. Dari kekuasaan tingkat RT sampai presiden. Semua kekuasaan, mengutip Lord Acton, cenderung korup. Apalagi kekuasaan yang absolut, peluang korupnya ya lebih lagi.