Kalau tak dibaca, tak bakal punya daya pengaruh. Itulah esensinya loyalitas media massa, loyalitas wartawannya kepada masyarakat, kepada publik, kepada mereka yang papa.
Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Saya juga pernah menulis ini di Kompasiana. Pembaca bisa menikmatinya di tautan ini. Mendidik Warganet Disiplin Verifikasi demi Informasi Sarat Akurasi.Â
Disiplin verifikasi mengajarkan kepada kita untuk skeptis dengan kabar yang datang. Apalagi kalau itu datang dari mereka yang dikenal sumber hoax. Dalam Alquran Surat Al Hujurat ayat 6, orang semacam itu disebut orang fasik.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
Agama sudah memandu kita ke sana. Kalau semua kita taat dengan ini, pasti hoax tak viral seperti kebanyakan sekarang. Syaratnya, kita jangan mudah percaya dengan kabar yang datang. Cek dulu dengan saksama informasi yang datang. Cari perbandingan dulu jika ada berita di sebuah web.Â
Maaf, apalagi web yang tidak ada nama penulis atau editor, tidak ada susunan redaksi, dan semua kontennya hanya berupa opini yang dibikin untuk kepentingan tertentu.
Di noktah ini, agama dan jurnalisme berkelindan dengan erat. Keduanya sama-sama mengajak kita untuk bijak dalam menerima informasi.Â
Saksama dalam menyerap kabar. Cerdas dalam memperlakukan informasi. Tidak mudah meneruskan tautan kepada orang lain.
Jika kita skeptis, kita akan selamat di era disrupsi media ini. Terima yang sahih, tolak yang daif.
Keempat, menjaga independensi