Mohon tunggu...
Adhang Legowo
Adhang Legowo Mohon Tunggu... -

hanya ingin hidup yang sekali ini berguna

Selanjutnya

Tutup

Money

Kolonel "Naryo" Sanders

14 Juli 2012   15:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:57 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembukaan pendidikan Pesantren Entrepreneur “API” Tegalrejo Magelang angkatan ke-4 penuh dengan hal yang baru. Malam itu halaman Pesantren Entrepreneur, dipadati kendaraan berbagai jenis. Kendaraan itu adalah mobil-mobil Kyai yang mengantar santrinya untuk mengikuti training Entrepreneur. Mereka datang dari berbagai Ponpes, antara lain; Mangkuyudan (Solo), Pandanaran (Yogyakarta), At Thohiriyyah (Purwokerto), Klaten, Wonosobo, Purbalingga dan Pekalongan.


Pak Samurai siap diangkat


Malam itu Gus Yusuf (Presdir Partner), Mbah Mo, & KH. Dian Nafi' (Al Mu'ayyad Windan Mangkuyudan, Solo) memberikan ceramah yang sangat memotivasi. Bahkan KH. Dian Niafi' sempat meminta 4 Orang santri untuk maju dihadapan audiens untuk mengangkat salah satu mentor ter-berat malam itu, Pak Samurai, dari kursi satu ke kursi lain yang berjarak 5 meter didepan. Sekalipun dengan tenaga penuh keempat orang ini rasanya akan kewalahan, apalagi Kyai Dian meminta keempat santri menggunakan kedua jari telunjuk mereka. Ah rupanya mereka sangat kepayahan sampai berkeringat-keringat.

Namun dengan dibantu dengan teknik dan aba-aba dari Kyai Dian, sungguh mengejutkan dengan mudah mereka mengangkat Pak Samurai & dengan mudah dan memindahkannya di Kursi yg berjarak 5 meter itu. Kejadian ini kontan disambut dengan tepuk tangan pertama di pendidikan angkatan ke-4 Pesantren Entrepreneur (Partner).

Santri angkatan-4
Ada 31 orang yg tersisa ketika semua tamu pengantar mulai pulang. Mereka adalah peserta pendidikan Partner. Pada awal pendidikan, camp mempunyai tradisi. Sehari setelah mereka regristrasi dan penentuan kamar, kami  memulai “Upacara Pembuntelan”, namun sebelumnya semua peserta diberi kesempatan untuk meperkenalkan diri, mulai dari nama, tempat asal hingga tujuan mereka mengikuti pendidikan selama 35 hari di Partner.

Ada satu peserta yang mencolok perhatianku dalam angkatan-4. Diantara peserta yg berusia 20 s/d 30 tahun, ada salah satu perserta yang berkacamata, rambut yang dominan putih mengurai dari balik pecis hitamnya, sedangkan jenggot yang ia peliharapun juga tampak diimbangi warna putih, ku taksir usianya sekitar 50 tahunan. Tadinya aku mengira beliau ini adalah salah satu diantara pengantar santri. Rupanya beliau, malam ini duduk bersama calon-calon santri Partner.

Ta’aruf (perkenalan) kumulai tanpa menunjuk urutan. Mulai dari awal pertemuan, kami telah menanamkan pola inisiatif dan aksi pada para peserta. 35 orang sudah pasti akan memakan waktu untuk satu-persatu memperkenalkan diri. Sampai pada akhirnya kuputuskan (walau tanpa kuucapkan) untuk mengakhiri perkenalan jika pria sepuh ini memperkenalkan dirinya. Tiba-tiba aku menemukan bahwa pria ini bakal kujadikan momentum pertama untuk memberikan tantangan pada peserta.

Benar saja pada perkenalan ke-13 pria sepuh ini memperkenalkan dirinya. “ Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh..”. Salamnya kepada hadirin kelas disambut dengan meriah.


Mbah Naryo ke-7 dari kanan
“ Perkenalkan nama saya, Sunaryo. Teman2 disini memanggil saya Mbah Naryo. Saya berasal dari Klaten. Sudah pasti saya adalah peserta tertua di angkatan ini, usia saya 55 tahun bahkan cucu terbesar saya telah duduk di bangku SMA.” Ungkapnya sembari meceritakan pengalamannya dalam dunia usaha. Menjelang akhir perkenalannya Mbah Naryo berujar, “Sebenarnya saya hanya menggantikan salah satu utusan pesantren yang berhalangan hadir karena suatu hal.”

“Sebentar Mbah..” sela-ku. “Maaf kalo boleh saya tanya, lalu Mbah Naryo akan meneruskan pendidikan disini tidak ?,  mengingat setelah acara ini, kegiatan yang kami lakukan 75 % di lapangan dan hanya 25 persen saja yang  berupa materi. Dari pengalaman angkatan yang lalu, kegiatan kami secara fisik sangat dikeluhkan oleh santri-santri.”

“Oh tentu saja pak, saya akan tetap ikut..!” jawabnya mantap.

“ Santri angkatan yg  lalu, mohon ma’af, muda-muda Mbah, tapi mereka tetap saja kewalahan”, kataku ingin memastikan jawaban mbah Naryo. Walaupun bertujuan kujadikan sebagai momentum untuk mengobarkan semangat santri2 muda, namun jujur saja terbersit ragu sekaligus (maaf) tidak tega pada Mbah Naryo dalam hatiku.

“ Insya Allah, saya tidak akan mundur pak..!” Jawaban singkat dan pasti Mbah Naryo menyulut tepuk tangan dari santri di kelas malam itu.

Pria sepuh, berkaca mata, barambut, kumis dan jenggot putih itu mengingatkanku pada gambar di kedai2 ayam goreng asal Amrik itu. Ya, tentu saja, Kolonel Sanders.

***

Observasi lapangan di minggu wajib dilalui oleh santri. Mereka diterjunkan di sekitar pasar Rejowinangun Magelang, tanpa bekal apapun. Karena dompet beserta isinya (kecuali KTP), HP,  bahkan rokok  mereka, telah masuk dalam buntelan oleh pengasuh. Mereka diberi tantangan untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang dengan modal “dengkul”. Bagi santri, berinteraksi dengan pasar adalah sesuatu yang sangatlah asing, apalagi mendapatkan uang. Proses ini memang telah kami ramu dalam rangka memperkenalkan mereka pada dunia perdagangan yang sederhana, dan mengubah cara pandang mereka terhadap uang dan pasar. Bagi santri-santri muda, tahap ini sungguh memeras tenaga dan mental, tentu saja, terlebih untuk Mbah Naryo. Beliau tak “menyetorkan” uang pada tahap ini.

Tahap kedua adalah kompetisi bisnis. Kami membagi santri dalam 7 kelompok dan memberi kesempatan kepada semua santri untuk menjadi ketua kelompok. Ketua bertugas untuk merumuskan ide bisnis, namun tidak diberikan uang pinjaman. Sendangkan anggota diberikan pinjaman sebedar 100 ribu rupiah per orang, namun bertugas memilih salah satu dari 7 orang ketua sebagai pemilik ide bisnis.

Ketua kelompok tidak dipilih, melainkan berdasarkan keinginan / inisiatif santri sendiri. Mereka manuliskan nama sendiri pada 7 kolom nama yang kami tulis di whiteboard. Tak kusangka Mbah Naryo maju ke depan dan menuliskan namanya di angka ke-4.  Walaupun kuragukan, namun kukagumi partisipasinya dalam pendidikan ini. Kemudian kami memberikan kesempatan pada para ketua untuk merumuskan ide usahanya dalam satu setengah hari, sebelum mereka mempresentasikan usahanya dihadapan santri2 calon investor / mitra usaha mereka.

Mentoring
Satu per satu dari tujuh orang itu mempresentasikan ide bisnis masing-masing. Tiap selesai presentasi kami “lelang” kepada para calon mitra usaha, siapa yang akan bergabung. Mbah Naryo mengambil kesempatan ke-5. Beliau maju ke depan, mengucapkan salam dan memulai presentasinya.

“ Setiap orang pasti mencari kenikmatan”. Tuturnya, “Maka saya akan mengajak kepada calon mitra saya untuk berbisnis kenikmatan.” Kontan saja, kelas mulai riuh dengan pembukaan Mbah Naryo yang cukup miring-miring dan mengakibatkan timbulnya presepsi yang juga miring-miring itu. Akupun sempat mengernyitkan dahi, baru kali ini tema “kenikmatan” diangkat dalam kompetisi bisnis santri.

“ Kenikatan apa Mbah..?” tanya salah seorang santri calon investor.

“ Su-su..” Jawab Mbah Naryo singkat dengan gaya seorang guru SD yang mengejanya menjadi dua suku kata, langsung saja kelas dipenuhi gelak tawa.

Wah baru seminggu, Mbah Naryo kelihatannya sudah kangen sekali dengan Mbah Putri..” celetuk santri calon investor. Akupun ikut tertawa bersama mereka. Rupanya benar juga papatah lama “di balik pria hebat ada wanita yang hebat (menginspirasi)”. Sambil tersenyum lebar Mbah Naryo meneruskan.

“ Ya, saya akan berbisnis susu. Susu kedelai tentu saja.”

“Ooooo... begitu.” Sahut santri2 peserta. Hmm... sebuah awal persuasi yang bagus dimulai oleh Mbah Naryo. Dengan awalan seperti ini rupanya suasana menjadi fokus dengan kata-kata Mbah Naryo. Tinggal melakukan jurus “meyakinkan” dan “closing” saja pasti manjur fikirku.

“ Saya melihat di sini kedelai mudah didapatkan dan membuat susu kedelai sangat memungkinkan. Tetapi sekali lagi sesuai dengan ilmu para mentor kita harus berani dengan ‘otak kanan’ mulai dari nol. From zero to hero, bisnis ini saya beri nama susu kedelai ‘NIKMAT’.” Katanya dengan meyakinkan. Peserta manggut-manggut. Tapi aku menjadi bertanya2 apa hubungannya susu kedelai dengan from zero to hero ?.

“ Sebagai pemilik ide sekaligus ketua kelompok, saya akan mengedepankan ‘musyawaroh’, mulai dari pembentukan struktur, produksi hingga nanti sampai pada pemasarannya.” Katanya sambil menceritakan idenya tentang susu kedelai ini.

Namun aku semakin bertanya-tanya karena aku harus menghubungkan kosakata-kosakata ini: susu kedelai (bahasa Indonesia), From zero to hero (bahasa Inggris) dan kini musyawaroh (bahasa arab). Tapi ku akui Mbah naryo mampu membuatku berfikir, sebagai kata rumit dari mencuri perhatian. Hingga tiba-tiba ada salah satu peserta yang tanya pada Mbah Naryo.

“ Mbah Naryo pernah berbisnis susu kedelai ?”

“ Belum “

“ Tapi Mbah Naryo pernah membuatnya ?”

“ Belum “

“ Tapi bisa mbah ?”

“ Belum “. Aku mulai cemas. Kosakata – kosakata tadi menuju kearah yang mengkhawatirkan.

“ Lha terus bagaimana Mbah Naryo akan menjalankan bisnis ini ?” tanya santri tadi, dan kuamini pertanyaan itu. Bahkan puluhan kepala di kelas sepertinya terwakili pertanyaan ini.

“ Ya seperti  yang tadi saya sampaikan, nanti kita tentukan berdasarkan musyawaroh..”, jawabnya ringan. Kakhawatiranku menemukan bukti.

“ Mbah kedelai kan ada yang hitam dan putih, Mbah Naryo akan buat dari bahan yang mana ?” tanya santri yang lain.

“ Nanti kita putuskan berdasar musyawaroh”. Jawaban tanpa beban ini disambut tawa dari seisi kelas, tentu saja dengan motif tawa yang beraneka ragam. Kekhawatiranku menghasilkan pertanyaan.

“ kalau produknya saja masih harus dimusyawarohkan bagaimana njenengan mau memasarkan produk itu mbah ?” pertanyaan ini juga kusadari konyol, sebab tak menunjukkan alur sebab akibat sama sekali. Logikanya, ketika sebuah produk sudah sangsi untuk bisa terbuat, mana mungkin akan membahas masalah pemasaran ?

“ Itu juga nanti kita musyawarohkan pak, saya hanya ingin mengajak calon mitra bisnis yang berani memulainya dari nol dan mampu bermusyawarah.”

Selain anti klimaks, seharusnya ide bisnis Mbah Naryo ini, masuk dalam “bendel” koreksi, untuk direvisi dan ditawarkan kembali. Namun jujur walaupun sangsi, kami memutuskan untuk membiarkan keadaan ini. Selama ini jargon “otak kanan”, “memulai tanpa harus bisa”, selalu didendangkan oleh para mentor-mentor pengusaha. Kali ini biarlah ide Mbah Naryo ini menjadi laboratoium yang kami putuskan dengan keberanian “otak kanan” juga.

Hebatnya ketika kami tawarkan kepada audiens, ternyata anggota (mitra) Mbah Naryo memenuhi quota maksimal, empat orang. Artinya dari sisi penawaran Mbah Naryo cukup berhasil. Tinggal membuktikan saja hasilnya. Kalo boleh jujur aku underestimate pada kelompok susu kedelai “NIKMAT”.

Tahap kompetisi bisnis berjalan selama 14 hari, pada pertengahan tahap ini kami menyiapkan 2 papan berwarna merah dan hijau. Papan merah tempat untuk mencantumkan nama-nama santri yang belum berhasil mengembalikan pinjaman. Sedangkan papan hijau adalah tempat mencantumkan nama-nama santri yang kelompoknya mampu meraih BEP. Papan itu dipampang di depan didinding kelas. Sehingga setiap sesi mentoring papan ini tampak jelas. Papan ini benar-benar mempengaruhi mental para santri. Betapa tidak, zona merah betuliskan huruf kapital besar, MEMALUKAN sedangkan zona hijau bertajuk MEMBANGGAKAN.

Pada awal pemasangan papan ini, hanya ada satu kelompok yang masuk dalam zona hijau. Kelompok sate buah “Sedunia”. Sate buah berbalur coklat yang bersegmen anak-anak dan remaja ini memang telah kami prediksi laju. Karena produk dan segmentasinya sangat tepat. Namun sungguh mengejutkan ketika 2 hari berikutnya hanya satu kelompok yang menyusul masuk ke zona hijau. Kelompok itu adalah susu kedelai “Nikmat”. Bahkan aku merasa perlu untuk menghadiri sendiri “Upacara Pindah Zona” kelompok susu kedelai “Nikmat”.

Pada upacara ini aku mengetahui bahwa kelompok susu kedelai ini melalui sebuah proses yang luar biasa. Rupanya mereka mempelajari pembuatan susu kedelai ini dari salah satu fasilitator Partner, mas Witaryono. Proses pelajaran mereka lalui dengan relatif cepat mengingat mereka memulai dari benar-benar nol. Bahkan sempat mengalami produk gagal, justru ketika tepat setelah mendapat pelanggan yang menyukai produk susu kedelai “Nikmat”. Merekapun memulainya dengan membagi tugas perorangan, siapa yang mengampu di bidang produksi dan pemasaran. Mereka lalukan dengan bergiliran. Sehingga setiap orang dari mereka mampu mengetahui standar pembuatan susu sekaligus pemasarannya. Mereka melakukan proses pembelajaran yang luar biasa !

Aku teringat dengan ucapan Mbah Naryo dalam presentasinya “ Saya hanya ingin mengajak calon mira bisnis yang berani memulainya dari nol dan mampu bermusyawarah.” Mulai dari nol adalah sebuah keberanian yang dipertaruhkan berupa komitmen. Sedangkan “mampu bermusyawarah” adalah manifestasi dari sebuah kinerja teamwork. Jujur aku mendapatkan pelajaran luar biasa dalam kasus ini. Selain “the true power behind of underestimate”, tentu saja.

Setiap pertemuanku dengan Mbah Naryo saat pendidikan, setiap itu pula semangatnya semakin berkualitas. Pria berusia 55 tahun itu menyimpan energi luar biasa. Kerendahan hatinya membalut keinginan bertempur layaknya Kolonel Sanders. Ini terbukti ketika hari pertama sepulang pendidikan, dengan phonselnya beliau menghubungiku melalui sms.

“ Assalamu’alaikum pak, mohon doanya hari ini saya akan belanja peralatan, saya akan membuat jahe instan. Besok saya akan mengajak ibu-ibu jamaah Yasinan untuk mengemasinya.”

Hari berikutnya beliau mengirimku sms lagi, “ Alhamdulillah, hari ini saya mendapatkan income 85 ribu. Mohon doanya pak”. Ini hari pertama action.

Sungguh semangat mbah Naryo ini, adalah tema yang kami angkat dalam penutupan Pendidikan Pesantren Entrepreneur angkatan ke-4, “Satu Santri Untuk Sepuluh Orang”. Tema ini sengaja kami angkat sebagai bentuk keprihatinan terhadap kasus Ruyati. Sebuah cermin ketidak percayaan diri sekaligus ketidakmandirian bangsa kita secara ekonomi. Dalam acara tersebut Gus Yusuf sempat menyitir sebuah hadist, Rasulullah saw pernah bersabda:" Wamin sa'adatil mar'i antakuuna zaujatuhu sholihatan, wa awladuhu abroro, wa hulatouhu sholihan warizquhu fi baladihi ".

yang artinya:

" termasuk keberuntungan seseorang bila istrinya sholihah,anak-anaknya bagus pekertinya, kumpulannnya orang-orang sholih dan rizqinya berada di negerinya sendiri.".


Mbah Naryo adalah santri pertama diangkatan ke-4 yang mulai action di hari pertama sepulang pendidikan, dan santri pertama yang mewujudkan tema “Satu Santri Untuk Sepuluh Orang”. Santri pertama itu berusia 55 tahun. Selamat berjuang Mbah Naryo, doakan kami untuk memiliki semangat sepertimu. Sampai bertemu di puncak sukses Mbah !

Salut kami untuk Mbah Kololel “Naryo” Sanders..!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun