Selain anti klimaks, seharusnya ide bisnis Mbah Naryo ini, masuk dalam “bendel” koreksi, untuk direvisi dan ditawarkan kembali. Namun jujur walaupun sangsi, kami memutuskan untuk membiarkan keadaan ini. Selama ini jargon “otak kanan”, “memulai tanpa harus bisa”, selalu didendangkan oleh para mentor-mentor pengusaha. Kali ini biarlah ide Mbah Naryo ini menjadi laboratoium yang kami putuskan dengan keberanian “otak kanan” juga.
Hebatnya ketika kami tawarkan kepada audiens, ternyata anggota (mitra) Mbah Naryo memenuhi quota maksimal, empat orang. Artinya dari sisi penawaran Mbah Naryo cukup berhasil. Tinggal membuktikan saja hasilnya. Kalo boleh jujur aku underestimate pada kelompok susu kedelai “NIKMAT”.
Tahap kompetisi bisnis berjalan selama 14 hari, pada pertengahan tahap ini kami menyiapkan 2 papan berwarna merah dan hijau. Papan merah tempat untuk mencantumkan nama-nama santri yang belum berhasil mengembalikan pinjaman. Sedangkan papan hijau adalah tempat mencantumkan nama-nama santri yang kelompoknya mampu meraih BEP. Papan itu dipampang di depan didinding kelas. Sehingga setiap sesi mentoring papan ini tampak jelas. Papan ini benar-benar mempengaruhi mental para santri. Betapa tidak, zona merah betuliskan huruf kapital besar, MEMALUKAN sedangkan zona hijau bertajuk MEMBANGGAKAN.
Pada awal pemasangan papan ini, hanya ada satu kelompok yang masuk dalam zona hijau. Kelompok sate buah “Sedunia”. Sate buah berbalur coklat yang bersegmen anak-anak dan remaja ini memang telah kami prediksi laju. Karena produk dan segmentasinya sangat tepat. Namun sungguh mengejutkan ketika 2 hari berikutnya hanya satu kelompok yang menyusul masuk ke zona hijau. Kelompok itu adalah susu kedelai “Nikmat”. Bahkan aku merasa perlu untuk menghadiri sendiri “Upacara Pindah Zona” kelompok susu kedelai “Nikmat”.
Pada upacara ini aku mengetahui bahwa kelompok susu kedelai ini melalui sebuah proses yang luar biasa. Rupanya mereka mempelajari pembuatan susu kedelai ini dari salah satu fasilitator Partner, mas Witaryono. Proses pelajaran mereka lalui dengan relatif cepat mengingat mereka memulai dari benar-benar nol. Bahkan sempat mengalami produk gagal, justru ketika tepat setelah mendapat pelanggan yang menyukai produk susu kedelai “Nikmat”. Merekapun memulainya dengan membagi tugas perorangan, siapa yang mengampu di bidang produksi dan pemasaran. Mereka lalukan dengan bergiliran. Sehingga setiap orang dari mereka mampu mengetahui standar pembuatan susu sekaligus pemasarannya. Mereka melakukan proses pembelajaran yang luar biasa !
Aku teringat dengan ucapan Mbah Naryo dalam presentasinya “ Saya hanya ingin mengajak calon mira bisnis yang berani memulainya dari nol dan mampu bermusyawarah.” Mulai dari nol adalah sebuah keberanian yang dipertaruhkan berupa komitmen. Sedangkan “mampu bermusyawarah” adalah manifestasi dari sebuah kinerja teamwork. Jujur aku mendapatkan pelajaran luar biasa dalam kasus ini. Selain “the true power behind of underestimate”, tentu saja.
Setiap pertemuanku dengan Mbah Naryo saat pendidikan, setiap itu pula semangatnya semakin berkualitas. Pria berusia 55 tahun itu menyimpan energi luar biasa. Kerendahan hatinya membalut keinginan bertempur layaknya Kolonel Sanders. Ini terbukti ketika hari pertama sepulang pendidikan, dengan phonselnya beliau menghubungiku melalui sms.
“ Assalamu’alaikum pak, mohon doanya hari ini saya akan belanja peralatan, saya akan membuat jahe instan. Besok saya akan mengajak ibu-ibu jamaah Yasinan untuk mengemasinya.”
Hari berikutnya beliau mengirimku sms lagi, “ Alhamdulillah, hari ini saya mendapatkan income 85 ribu. Mohon doanya pak”. Ini hari pertama action.
Sungguh semangat mbah Naryo ini, adalah tema yang kami angkat dalam penutupan Pendidikan Pesantren Entrepreneur angkatan ke-4, “Satu Santri Untuk Sepuluh Orang”. Tema ini sengaja kami angkat sebagai bentuk keprihatinan terhadap kasus Ruyati. Sebuah cermin ketidak percayaan diri sekaligus ketidakmandirian bangsa kita secara ekonomi. Dalam acara tersebut Gus Yusuf sempat menyitir sebuah hadist, Rasulullah saw pernah bersabda:" Wamin sa'adatil mar'i antakuuna zaujatuhu sholihatan, wa awladuhu abroro, wa hulatouhu sholihan warizquhu fi baladihi ".