“Sebentar Mbah..” sela-ku. “Maaf kalo boleh saya tanya, lalu Mbah Naryo akan meneruskan pendidikan disini tidak ?, mengingat setelah acara ini, kegiatan yang kami lakukan 75 % di lapangan dan hanya 25 persen saja yang berupa materi. Dari pengalaman angkatan yang lalu, kegiatan kami secara fisik sangat dikeluhkan oleh santri-santri.”
“Oh tentu saja pak, saya akan tetap ikut..!” jawabnya mantap.
“ Santri angkatan yg lalu, mohon ma’af, muda-muda Mbah, tapi mereka tetap saja kewalahan”, kataku ingin memastikan jawaban mbah Naryo. Walaupun bertujuan kujadikan sebagai momentum untuk mengobarkan semangat santri2 muda, namun jujur saja terbersit ragu sekaligus (maaf) tidak tega pada Mbah Naryo dalam hatiku.
“ Insya Allah, saya tidak akan mundur pak..!” Jawaban singkat dan pasti Mbah Naryo menyulut tepuk tangan dari santri di kelas malam itu.
Pria sepuh, berkaca mata, barambut, kumis dan jenggot putih itu mengingatkanku pada gambar di kedai2 ayam goreng asal Amrik itu. Ya, tentu saja, Kolonel Sanders.
***
Observasi lapangan di minggu wajib dilalui oleh santri. Mereka diterjunkan di sekitar pasar Rejowinangun Magelang, tanpa bekal apapun. Karena dompet beserta isinya (kecuali KTP), HP, bahkan rokok mereka, telah masuk dalam buntelan oleh pengasuh. Mereka diberi tantangan untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang dengan modal “dengkul”. Bagi santri, berinteraksi dengan pasar adalah sesuatu yang sangatlah asing, apalagi mendapatkan uang. Proses ini memang telah kami ramu dalam rangka memperkenalkan mereka pada dunia perdagangan yang sederhana, dan mengubah cara pandang mereka terhadap uang dan pasar. Bagi santri-santri muda, tahap ini sungguh memeras tenaga dan mental, tentu saja, terlebih untuk Mbah Naryo. Beliau tak “menyetorkan” uang pada tahap ini.
Tahap kedua adalah kompetisi bisnis. Kami membagi santri dalam 7 kelompok dan memberi kesempatan kepada semua santri untuk menjadi ketua kelompok. Ketua bertugas untuk merumuskan ide bisnis, namun tidak diberikan uang pinjaman. Sendangkan anggota diberikan pinjaman sebedar 100 ribu rupiah per orang, namun bertugas memilih salah satu dari 7 orang ketua sebagai pemilik ide bisnis.
Ketua kelompok tidak dipilih, melainkan berdasarkan keinginan / inisiatif santri sendiri. Mereka manuliskan nama sendiri pada 7 kolom nama yang kami tulis di whiteboard. Tak kusangka Mbah Naryo maju ke depan dan menuliskan namanya di angka ke-4. Walaupun kuragukan, namun kukagumi partisipasinya dalam pendidikan ini. Kemudian kami memberikan kesempatan pada para ketua untuk merumuskan ide usahanya dalam satu setengah hari, sebelum mereka mempresentasikan usahanya dihadapan santri2 calon investor / mitra usaha mereka.
Mentoring
Satu per satu dari tujuh orang itu mempresentasikan ide bisnis masing-masing. Tiap selesai presentasi kami “lelang” kepada para calon mitra usaha, siapa yang akan bergabung. Mbah Naryo mengambil kesempatan ke-5. Beliau maju ke depan, mengucapkan salam dan memulai presentasinya.