“ Belum “
“ Tapi Mbah Naryo pernah membuatnya ?”
“ Belum “
“ Tapi bisa mbah ?”
“ Belum “. Aku mulai cemas. Kosakata – kosakata tadi menuju kearah yang mengkhawatirkan.
“ Lha terus bagaimana Mbah Naryo akan menjalankan bisnis ini ?” tanya santri tadi, dan kuamini pertanyaan itu. Bahkan puluhan kepala di kelas sepertinya terwakili pertanyaan ini.
“ Ya seperti yang tadi saya sampaikan, nanti kita tentukan berdasarkan musyawaroh..”, jawabnya ringan. Kakhawatiranku menemukan bukti.
“ Mbah kedelai kan ada yang hitam dan putih, Mbah Naryo akan buat dari bahan yang mana ?” tanya santri yang lain.
“ Nanti kita putuskan berdasar musyawaroh”. Jawaban tanpa beban ini disambut tawa dari seisi kelas, tentu saja dengan motif tawa yang beraneka ragam. Kekhawatiranku menghasilkan pertanyaan.
“ kalau produknya saja masih harus dimusyawarohkan bagaimana njenengan mau memasarkan produk itu mbah ?” pertanyaan ini juga kusadari konyol, sebab tak menunjukkan alur sebab akibat sama sekali. Logikanya, ketika sebuah produk sudah sangsi untuk bisa terbuat, mana mungkin akan membahas masalah pemasaran ?
“ Itu juga nanti kita musyawarohkan pak, saya hanya ingin mengajak calon mitra bisnis yang berani memulainya dari nol dan mampu bermusyawarah.”