"SEKTE WAHABIAH DI INDONESIA CLEAR AND PRESENTDANGER”
Pertanyaan sistematis tentang SEKTE WAHABIAH
dari Buku
ILUSI NEGARA ISLAM; Ekspansi Gerakan IslamTransnasional di Indonesia
Ada sebuah fenomena menarik dimana ada sebuah buku hasil riset, yang sangat kontroversial yang diterbitkan oleh Wahid Institut (secara implisit mewakili NU), Maarif Institut (secara implisit mewakili Muhammadiyah) dan Gerakan Bhinneka Tunggal Ika pada 2009, yang menuai protes dari kalangan (terutama garis keras) dan juga dukungan dari masyarakat Islam.
Anehnya, buku hasil riset tersebut hilang dipasaran hingga kini sampai muncul link unduhan gratis isi bukutersebut (http://www.bhinnekatunggalika.org/downloads/ilusi-negara-islam.pdf).
Ini menjadi lanjutan dari sikap Muhammdiyah dan PBNU dalam menyikapi gerakan Wahabi global di Indonesia. Masalah ini dianggap penting hingga dikeluarkan dokumen resmi yang meneguhkanpenyikapan tersebut dengan keluarnya : SKPP Muhammadiyah No 149/Kep/I.0/B/2006,untuk membersihkan Muhammadiyah dari Partai Keadilan Sejahtera dan Dokumen Penolakan Pengurus Besar NahdatulUlama (PBNU) terhadap Ideologi dan Gerakan Ekstremis Transnasional.
Karena buku itu panjang, maka penulis berusaha untuk menyajikan secara simple sehingga dapat dipelajarisubstansinya secara cepat dengan metode pertanyaan dasar APA, MENGAPA, SIAPA,BAGAIMANA, KEMANA tentang gerakan Wahabiah/Salafiah tersebut.
Semoga kita bisa mendapatkan sebuah pemahaman yang cukup substansial dan menjadi bekal pengetahuan kita untuk bersikap, terutama dalam memelihara keutuhan NKRI, menjaga Kebhineekaan Tunggal Ika an dan Pancasila.
"Apaitu Sekte Wahabi / Salafi"
Secara umum, Wahabi sebenarnya bertentangan dengan semangat Islamsendiri. Tabi‘atnya yang keras, suka memvonis musyrik, kafir, dan murtadterhadap sesama Muslim, serta aksi-aksi destruktif yang gemar mereka lakukanadalah bukti yang sulit dito lak. Perbuatan mereka seutuhnya bertentangandengan pandangan para ulama Aswaja seperti ditegaskan dalam kaedah fiqh bahwa,menolak kerusakan, kekacauan, kekejaman dan semacamnya (maf sadah) harus lebih didahulukan daripada mewujudkan kesejahteraan(dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalbal-mashlalih). Dalam hal ini, Wahabi justru gemar melakukan maf sadahdemi —menurut mereka—mewujudkan mashlahah (versi Wahabi). (h.72)
Pemahaman ekstrem, kaku, dan keras Ibn ‘Abdul Wahab, yang terus dipeliharadan diperjuangkan para pengikutnya (Wahabi) hingga saat ini, adalah hasil daripembacaan harfiah atas sumbersumber ajaran Islam. Ini pula yang telah menyebabkandia menolak rasionalisme, tradisi, dan beragam khazanah intelektual Islam yangsangat kaya.(h.63)
"MENGAPA sekte Wahabi berbahaya"
a. Tidak sesuai dengan semangat Islam
Sedangkan kegemaran mereka mengkafirkan sesama Muslim jelas merupakanpembangkangan terhadap peringatan Kanjeng Nabi Muhammad saw bahwa, Siapapunyang menuduh saudaranya yang Muslim sebagai kafir, dia sendiri adalahkafir". Pada kenyataannya, tuduhan musyrik, kafir dan murtad adalahberdasarkan paham Wahabi. Disini terlihat dengan jelas bahwa Wahabi telahmenjelma menjadi agama dalam agama.(h.72)
Tuduhan anti-Islam yang dialamatkanoleh kelompok-kelompok garis keras kepada para penentang Perda Syari‘ah padadasarnya merupakan bentuk teror teologis yang memanfaatkan sentimen keagamaan.Tuduhan ini sangat efektif karena menciptakan rasa takut di kalangan sebagianorang Islam. Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba'asyir bahan pernah mengancam, “Jika pemberlakuan syari‘ah Islam dihalang-halangi maka umat Islam wajib berjihad,”* tegasnya, seakan-akan semua orang Islam setuju dengan pandangannya. Terobsesi dengan berlakuan syari‘ah Islam secara formal, Ba'asyir selalu mengulang-ulang penegasannya: “Berjihad untuk melawan kaum kuffar yang menghalangi dan menentang berlakunya syari‘ah Islam adalah wajib dan amal yang paling mulia.** Amir MMI itu menuding penentang Perda Syari‘ah sebagai kafir.
*. Statemen Abu Bakar Ba'asyir seperti dikutip dalam Andi Muawiyah Ramli (ti), Demi Ayat Tuhan: Upaya KPPSI MenegakkanSya-ri'ah Islam (lakarta: OPSI, 2006), h. 387.
**. Statemen Abu Bakar Ba'asyir seperti dikutip dalam Andi Muawiyah Ramli (ed), Ibid.
(h.135)
b. Tidak sesuai dengan semangat Pancasila
Dan dengan tepat Pancasila merefleksikan pesan-pesan luhur agama ini: Hyang Mahaesa, nilai-nilai kemanusiaan, perasaan sebagai satu-kesatuan, musyawarahdalam kepemimpinan, dan keadilan.
Pesan—pesan luhur inilah yang belakangan digugat dan dihujat oleh kelompok-kelompok garis keras sebagai penyebab degradasi moral dan keterpurukan bangsa Indonesia, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Tujuannya jelas, dengan mendiskreditkan Pancasila mereka berusaha melakukan formalisasi agama, yakni pemahaman mereka yang sempit, dangkal, parsial, dan kaku tentang Islam. Padahal realitasnya jelas, degradasi moral dan keterpurukan bangsa adalah karena ulah penguasa yang tidak setia pada dasar dan konstitusi negara. Hingga saat ini, pesan-pesan syari‘ah sebagaimana terefleksi dalam Pancasila belum sepenuhnya diwujudkan. Karena itu, degradasi moral dan keterpurukan bangsa hanya dalih semata untukmengganti Pancasila dengan negara Islam versi mereka dan/atau mengubah NKRI dengan khilafah internasional. (h.222)
c. Perda Syariah yang membahayakan persatuan Indonesia
Perda-perda Syari‘ah justru memicu terjadinya berbagai pelanggaran hak'hak sipil —terutama— di kalangan non Muslim dan Perempuan.*
Kalangan non'Muslim terkena kewajiban untuk melaksanakan beberapa aspek dari Perda Syari'ah. Di Kabupaten Cianjur, misalnya, dilaporkan seorang perempuan non'Muslim mengaku dipaksa mengenakan jilbab di kantor setiap hari Jumat. Pemaksaan serupa juga menimpa seorang guru di sekolah negeri dan seorang siswi sebuah SMU. Bagi siswi yang menolak, orang tuanya diharuskan mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non'Muslim. Jilbabisasijuga diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa yang bekerja di kantor BCA Cianjur.**
Kalangan non—Muslim sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilankeputusan penerapan syari‘ah Islam di Cianjur, tetapi pada beberapa kasus ternyata aturan Perda syari‘ah diberlakukan juga bagi kalangan non-Muslim.**
Benarkah Perda perda Syari‘ah tersebut mendorong kehidupan yang lebihbaik, seperti yang diyakini PKS? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centerfor the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dipublikasikan belum lama ini justru menunjukkan fakta sebaliknya. Dalam diskusi hasil penelitian tersebut pada 2112 November 2007 di Bogor, para peneliti mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara kesejahteraan masyarakatdengan penerapan Perda Syari‘ah; kehidupan masyarakat tidak berubah antarasebelum dan sesudah diberlakukannya Perda-perda Syari‘ah (h.139)
* Hasil penelitian ini telah diterbitkan dalam buku Syari'ah Islam danHAM: Dampak Perda Syari'ah terhadap kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, eds. (lakarta: CSRC-UINJakarta, 2007).
** Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, eds. Ibid. h. xxviii.
"SIAPA Wahabi"
a. Wahabi Wahabi-Saud
Abad 18 sebagai sekte baru dari Muhammad bin Abdul Wahab (lahir 1703). Alirannya disebut Wahabiah. Pemahamannya ekstreem, kaku, keras dan sangatdangkal. Pemahaman ekstrem, kaku, dan keras Ibn ‘Abdul Wahab, yang terus dipelihara dan diperjuangkan para pengikutnya (Wahabi) hingga saat ini, adalah hasil dari pembacaan harfiah atas sumber-sumber ajaran Islam. Ini pula yang telah menyebabkan dia menolak rasionalisme, tradisi dan beragam khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Dalam hal polemik, Kristen, Syi‘ah,tasawuf, dan Mu‘tazilah merupakan target utamanya. Namun bukan berarti bahwa selain kelompok tersebut aman dari kecaman yang didasarkan pada pembacaan harfiah atas teks-teks suci (baca: alQur'an dan Sunnah).
Literalisme Wahabi telah membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara pembacaan selain pembacaan secara harfiah la Ibn ‘Abdul Wabab. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks masa risalah maupun konteks masa pembacaan teks-teks suci, dan akhirnya Islam sendiri, tidak lagi komunikatif dengan konteks para penganutnya. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalahan umat, di tangan Ibn 'Abdul Wahabberubah menjadi tidak peduli, keras dan tak berperasaan.
(h.63)
Secara keliru— meyakini bahwa pemahaman mereka atas ajaran agama, interpretasi mereka atas teks-teks suci juga mempunya kebenaran mutlak sebagaimana ajaran agama dan teks teks suci adanya. lni adalah penyakit epistemologis yang telah membuat perbedaan pendapat tidak produktif. Padahal, dalam sebuah riwayat yang sangat masyhur Nabi saw. menuturkan, “Perbedaan pendapatdi antara umatku adalah rahmat” (ikhlildfu ummati rahmah).
(h.61)
Aksikekerasan pertama Wahabi dan bertemu ibn Saud
Aksi kekerasan pertama Wahabi ketika itu adalah menghancurkan makam Zaidibn al-Khaththab, sahabat Nabi dan saudara kandung ‘Umar ibn al-Khaththab. Sebelum itu, aksi-aksi pemurtadan dan pengkafiran pun dilancarkan, sebagai pembuka aksi-aksi kekerasan yang akan dilakukan. Namun patronase ini tidak berlangsung lama karena kepala suku daerah tersebut mencium bahaya laten dalam gerakan Wahabi. Atas desakan inilah, Ibn ‘Abdul Wahab meninggalkan ‘Uyaynah, pindah ke Dir‘iyah dan menemukan sekutu baru, Muhammad ibn Sa‘ud, yang terbukti menjadi sekutu permanen. Aliansi baru ini kelak melahirkan Kerajaan Saudi Wahabi modern.
Muhammad ibn Sa'ud adalah politikus cerdas. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan sangat berharga untuk memberi dukungan kepada Ibn ‘Abdul Wahab demi meraih kepentingan politiknya.
Dia minta jaminan Ibn 'Abdul Wahab untuk tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir‘iyah. Ibn ‘Abdul Wahab meyakinkannya bahwa jihad ke depan akan memberinya keuntungan yang lebih besar daripada upeti yang din impikan. Maka, panggung pemurtadan, pengkafiran, dan aksi'aksi kekerasan yang akan dilakukan ke seluruh jazirah Arab pun dibangun diatas aliansi permanen ini.
Pada tahun 1746/1159, Wahabi-Sa‘ud secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang mempunyai pemahaman tauhid berbeda dari mereka. Kampanye ini diawali dengan tuduhan syirik (polytheist), murtad, dan kafir. Setiap Muslim yang tidak mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi dianggap murtad, karenanya perang dibolehkan, atau bahkan diwajibkan, terhadap mereka. Razia, penggerebekan dan perampokan terhadap mereka pun dilakukan. Dengan demikian, predikat Muslim —menurut Wahabi— hanya merujuk secara eksklusif kepada para pengikut Wahabi, seperti digunakan dalam buku ‘Unwan al-Majd fi Tarikh al-Najd, salah satu buku sejarah resmi Wahabi.
Sekitar lima belas tahun setelah proklamasi jihad ini, Wahabi sudah menguasai sebagian besar jazirah Arab, termasuk Najd, Arabia tengah, ‘Asir,dan Yaman. Muhammad ibn Saud yang meninggal pada tahun 1766/1180 digantikan oleh‘Abdul ‘Aziz, yang pada 1773/1187 merebut Riyadh, dan sekitar tujuh belas tahunan mulai berusaha merebut Hijaz. Muhammad ibn ‘Abdul Wahab wafat tahun1791/1206, sesaat setelah perang melawan para penguasa Hijaz dimulai. Kurang dari satu dekade, ajaran Wahabi sudah dipaksakan dengan senjata kepada penduduk Haramain (Makkah dan Madinah), walaupun hanya sesaat, pemaksaan ini mempunyai pengaruh yang luar biasa tidak hanya di Hijaz, tetapi juga di dunia Islam lainnya, termasuk Nusantara.
Tahun 1802/1217 Wahabi menyerang Karbala, membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk wanita dan anak-anak. Wababi juga menghancurkan kubah makam Husein serta menjarah berlian, permata,dan kekayaan apa pun yang mereka temukan di makam tersebut. Pada 1803/1217 Wahabi kembali menyerang Hijaz, dan Ta’if adalah kota pertama yang mereka serbu. Pada 1805/1220 mereka merebut Madinah dan 1806/ 1220 merebut Makkah untuk kedua kalinya. Seperti biasa, Wahabi memaksa para ulama menyatakan sumpah setia dengan todongan senjata.
Pendudukan Haramain ini berlangsung sekitar enam setengah tahun. Periode kekejaman ini ditandai dengan pembantaian dan pemaksaan ajaran Wahabi kepada penduduk Haramain, penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku—buku selain al Qur'an dan hadits, larangan merayakan Maulid Nabi, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa hadits mau‘izhah hasanah sebelum khotbah Jum'at, larangan memiliki rokok dan mengisapnya, bahkan sempat mengharamkan kopi
--Ringkasnya, sikap dan kesukaan utama Wahabi sejak awal gerakannya,selain membunuh serta merampas kekayaan dan wanita, juga termasuk menghancurkan kuburan dun peninggalan-peninggalan bersejarah; mengharamkan tawassul, isti‘ana dan istighatsah, syafa'at, tabarruk, dan ziyarah kubur; membakar buku-buku yang tidak sejalan dengan paham mereka; memvonis musyrik, murtad, dan kafir siapa pun yang melakukan amalan-amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Wahabi, walaupun sebenamya tidak haram. Memang, sebelum mempunyai kekuatan fisik atau militer, Wahabi lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapa pun sebagai musyrik, murtad, dan kafir. Namun, setelah mereka mempunyai kekuatan fisik atau militer, tuduhan tersebut dilanjutkan dengan serangan-serangan fisik seperti pemukulan, amputasi, dan pembunuhan. Wahabi menyebut semua ini sebagai dakwah, amr ma‘ruf nahy munkar dan jihad, terminologi yang sebenarnya tidak mempunyai konotasi kekerasan dalam bentuk apa pun.
(hal 67-69)
b. Ikhwanul Muslimin
lkhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al Banna di Mesir pada tahun 1928. Pada dekade ini Mesir dan Palestina dijajah Inggris, Maghreb dan Syria dijajah Prancis, sedangkan Libya dijajah Itali. Secara ideologis, penjajah Timur Tengah ini bisa dilihat dalam beberapa aliran. lnggris menganut liberalisme, sedangkan Itali yang sudah dikuasai Mussolini menganut fasisme. Fasisme (Fascism) berasal dari facses (Latin) atau fascio (Italia) yang adalah simbol otoritas Roma dan berarti batang-batang kecil yang diikat dalam satu kesatuan dan karena itu sulit dihancurkan atau dipatahkan. Dengan kata lain, fasisme adalah simbol kekuatan melalui persatuan.
Tujuan Hasan al Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, di antaranya, adalah untuk melawan penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan membawa umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Sayangnya, al-Banna dan para pengikut nya tampak meyakini bahwa ideologi dan sistem gerakan fasisme Itali-Mussolini dan komunisme-Uni Soviet lebih berguna dalam mencapai tujuannya daripada liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan bagi setiap orang untuk mencari kebenaran dan mengamalkan ajaran agamanya. Di samping itu, al Banna juga berkenalan dengan gagasan Wahabi, dan sejak awal sekali pola pikir totalitarianisme-sentralistik fasisme, komunisme dan Wahabisme sudah ada dalam DNA Ikhwanul Muslimin.
Secara faktual bisa dikatakan, Ikhwanul Muslimin adalah anak kandung ideologi Barat yang sekaligus memusuhi induknya. Dari fasisme-Mussolini Itali, Ikhwanul Muslimin mengadopsi sistem totalitarianisme dan negara sentralistik, namun menolak nasionalisme. Dari komunisme Uni Soviet, mereka mengadopsi totalitarianisme, sistem penyusupan dan perekrutan anggota (cell system), strategi gerakan, dan internasionalisme, namun menolak ateisme. Berdasarkan fakta ini beberapa ahli menyebut Ikhwanul Muslimin dan garis keras lainnya sebagai Islamofasisme, yakni sebuah gerakan politik yang bertujuan mewujudkankekuasaan mutlak berdasarkan pemahaman mereka atas al'Qur'an.
(h.79-80)
c. Perkawinan Wahabi-Saudi danIkhawanul Muslimin = Al Qaeda
Perang Afghanistan melawan Uni Soviet memikat banyak anggota garis keras dari seluruh dunia, termasuk pendiri Laskar Jihad, Ja‘far ‘Umar Thalib, dan beberapa pelaku kampanye teror Jamaah Islamiyah, termasuk Hambali, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan, Jamaah lslamiyah —yang didirikan oleh mantan anggota Darul Islam, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir— punya kaitan erat dengan al Qaedah melalui Hambali, yang sebelum tangkap termasuk pengurus inti alQaedah.
Secara struktural, para pengurus inti al Qaedah beretnik Arab dan berasal dari Timur Tengah kecuali Hambali. Hambali adalah komandan militer jamaah Islamiyah yang berjuang untuk melenyapkan NKRI dan menggantinya dengan khilafah internasional. Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas banyak peledakan bom di Indonesia seperti pemboman hotel Marriott, Bursa Efek Jakarta(BEJ), Bandara Soekarno-Hatta, Bom Bali, pemboman di berbagai gereja, dan usaha pembunuhan Duta Besar Filipina. Bahkan, bom di Masjid lstiqlal yang berskala kecil termasuk aksi JI sebagai usaha menumbuhkan sentimen keagamaan bahwa ada serangan terhadap Islam Indonesia.
Al Qaedah adalah keturunan lain dari perkawinan Wahabi— IkhwanulMuslimin, yang jelas terlihat dari kehadiran para Wahabi-Saudi yang dipimpin Osama bin Laden (murid Muhammad Qutb-pengganti Al Banna dan dijadikan oleh Arab Saudi dosen di Universitas Al Azhar) dan Ayman al—Zawahiri bersama para pengikutnya.Al-Zawahiri yang sudah menjadi anggota lkhwanul Muslimin sejak berusia 14 tahun sangat kuat dipengaruhi Sayyid Qutb, dan adalah pemimpin kedua al Jihad—dikenal dengan nama Egyptian Islamic Jihad— yang bertanggung jawab atasterbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tahun 1981.
(h.84)
d. Gerakan Transnasional di Indonesia
Awal Wahabi di Indonesia
Gerakan Padri
Gerakan Padri berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, danHaji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abadke-l9, ketika itu Makkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Terpesona oleh gerakanWahabi, sekembalinya ke Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha melakukangerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wababi, yang juga didukung oleh duahaji yang lain.(29) Pemikiran dan gerakan mereka setali tiga uang denganWahabi, mereka memvonis tarekat Syattariyah, dan tasawuf secara umumnya, yangtelah hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yangtidak bisa ditoleransi, di dalamnya banyak takhayul, bid‘ah, dan khurafat yang harus diluruskan, kalau perlu diperangi.(30) Tuanku Nan Renceh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh jugamengkafirkan Fakih Saghir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnyasebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaandengannya.(31)
(29. Abdul A'la, “Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan KamkterPemikiran dan Gerakan Padri dnlam Perspektif Hubungnn Agama dan PolitikKekuasaan,” Pidato Pengukuhan Guru Besar, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Mei 2008(tidak dipublikasikan), h. 11.
30. Oman Fathurrahman, Tarckat Shattariyah di Dum'a Mdayu'lndoncsia: Kajianalas Dinamika dan Pcrkcmbangannya Melalui Naskah'naskah di Sunmmm Ba'rat,Disertasi pada Program Studi Ilmu Susastera Program Pascnsarjana UniversitasIndonesia, Jakarta 2003 (Tidak dipublikasikan), h. 164, sebagaimana dikutipAbdul A'la, ibid._ h. 14.
31. Suryadi, “Kontroversi Kaum Padri: Jika Bukan Karena Tuanku NanRenceh" dalamhttp://naskahkuno.blogspot.c0m/ZOO'I/ Il/kontroversi—kaum-padri-jikabukanhtml, seperti dikutip Abdul ibid. h. 14.)
(h. 94 - 95)
Beberapa kekerasan yang dilakukan Padri, selain mengikuti kegemaran Wahabi(Salafi) memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapa pun yang berbeda,mereka juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam,seperti kewa' jiban memelihara jenggot dan didenda 2 suku (setara dengan lgulden) bagi yang mencukurnya; larangan memotong gigi dengan ancaman dendaseeker kerbau bagi pelanggarnya; denda 2 suku bagi laki-laki yang lututnyaterbuka; denda 3 suku bagi perempuan yang tidak menutup sekujur tubuhnyakecuali mata dan tangan; denda 5 suku bagi yang meninggalkan shalat fardluuntuk pertama kali, dan hukum mati untuk berikutnya.(32)
Para Padri juga melegalkan perbudakan. Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padriterkemuka dan dikenal sebagai pahlawan nasional, mempunyai tujuh puluh orangbudak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama Muslim karena dianggap kafir.(33)
Kekerasan lain yang dilakukan Padri terhadap sesama Muslim di Minangkabau,antara lain penyerangan terhadap istana Pagaruyung pada tahun 1809. Seranganini diawali oleh tuduhan Tuanku Lelo, tokoh Padri, bahwa beberapa keluarga rajaseperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang, dan seorang anak raja lainnya,tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan dianggap kafir, sehingga harusdibunuh. Pembantaian massal pun dilakukan terhadap para anggota keluarga dan pembantu raja, termasuk para penghulu yang dekat dengan istana.(34) Pada tahun 1815, serangan dilakukan kembali dibawah komando Tanku Lintau. Dalam serangan kali ini, gerakan Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan yang telah memeluk Islam sejak abad ke-l6 itu. KekejamanPadri tidak hanya dalam hal itu saja. Tercatat, Tuanku Nan Renceh telah menghukum bunuh bibinya sendiri yang sudah tua, dan tidak membolehkan jenazahnya dikubur tetapi dibuang ke hutan, semata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.(35) Apa yang dilakukan kaum Padri ini sama belaka denganyang dilakukan oleh Wahabi pada masa formasinya dan oleh pengikutnya sepertial-Qaedah dan Taliban sampai dewasa ini.
Gerakan Padri berakhir, di samping karena faktor penjajahan, juga karena secara alamiah bertentangan dengan suasana, tradisi, dan budaya bangsa Indonesia. Fakta ini merupakan bukti kongkret betapa virus Wahabi yang menjangkiti jantung dunia Islam bisa menyebar dengan cepat ke seluruh tubuhdunia Islam. Berakhirnya gerakan Padri tidak mengakhiri penyusupan Wahabi keIndonesia.
(35 Abdul A'la, ibid. h.23)
Relasi antara Wahabi dan kelompok-kelompok garis keras lokal memang tidak bisa sepenuhnya ditunjukkan secara organisatoris-struktural, karena lazimnya merekamalu disebut kaki tangan Wahabi. Di samping ada kontak kontak langsung dengan tokoh-tokoh garis keras transnasional, relasi mereka juga berdasarkan kesamaan orientasi, ideologi, dan tujuan gerakan. Berbagai kelompok garis keras ini bekerjasama dalam beragam aktivitas yang mereka lakukan. Lazimnya, kelompok kelompok ini memiliki relasi dengan organisasi transnasional yang diyakini berbahaya dan mengancam Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, di samping juga merupakan ancaman serius terhadap Islam Indonesia yang santun dan toleran.
Di antaragerakan gerakan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah,
1) IkhwanulMuslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi GerakanTarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS);
(Haedar Nashir menulis:
Keterkaitan PKS dengan lkhwanul Muslimin sendiri juga diakui oleh AnisMatta, seorang tokoh dan sekjen Partai Keadilan Sejahtera. Berikut pernyamanAnis Marta:
“Inspirasi-impimsiAl'lkhwan Al-Muslimun dalam diri Partai Keadilan Scjahtera, kalau bolehdigarisbawahi di sini, sesungguhnya memberikan kekuatan pada dua dimensisekaligus. Pertama, inspirasi ideologis yang —salah satunya— didasarkan padaPrinsip Syumuliyat Al Islam, sesuatu yang bukan hanya menjadi prinsipPerjuangan Hasan Al-Banna saja, tapi juga pejuang-pejuang yang lain.
Kedua, inspirasihistoris, semacam mencari model dan maket dari sebentuk perjuangan Islam di erasetelah keruntuhan Al-Khilafah Al'Islamiyyah dan dominasi imperialisme Baratatas negeri-negeri Muslim.
Tetapi yangmempertemukan dua inspirasi itu pada diri Hasan Al'Banna. dan Al IkhwanulMuslimun, adalah pada aspek denyut pergerakannya. Sebab, pada saat tokoh-tokohyang lain menjadi pembaharu dalam lingkup pemikiran, Hasan Al Banna berhasilmengubah pembaharuan itu dari wacana menjadi gerakan. Dan tidak berlebihan,bila inspirasi gerak itu juga yang secara terasa dapat diselami dalam denyutPartai Keadilan Sejahtera.”
Anis Matta, “Kata Pengantar“ dalam Any Muhammad Furkon, Partai KeadilanSejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer(Bandung: Teraju. 2004)‘ sebagaimana dikutip Haedar Nashir. ibid., h. 33-34.)(h.96)
2) HizbutTahrir Indonesia (HTI) dengan gagasan Pan-Islamismenya yang ingin menegakkan Khilafah Islamiyah di seluruh dunia, dan menempatkan Nusantara sebagai salahsatu bagian di dalamnya; dan
3) Wahabi yang berusaha melakukan wahabisasi global. Di antara ketiga gerakan transnasional tersebut, Wahabi adalah yang paling kuat, terutama dalam hal pendanaan karena punya banyak sumur minyak yang melimpah. Namun demikian,ketiga gerakan transnasional ini bahu'membahu dalam mencapai tujuan mereka,yakni formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari'ah sebagai hukumpositif atau Khilafah Islamiyah.
Kehadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dariJama‘ah Salafi (Wahabi), DDII mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke TimurTengah, sebagian dari mereka inilah yang kemudian menjadi agen-agen penyebaranideologi Wahabi'lkhwanul Muslimin di Indonesia. Belakangan, dengan dukunganpenuh dana Wahabi-Saudi pula, DDll mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudianmenjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama‘ah Salafi di Indonesia. Dibandingkandengan HTI, Wahabi memang jauh lebih dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Kedekatanini berawal pada dekade 1950an dan 1960— an ketika Gamal Abdel Nasser membubarkan Ikhwanul Muslimin yang ekstrem dan melarang semua kegiatannya diMesir. Banyak dari tokoh tokoh Ikhwanul Muslimin saat itu melarikan diri meninggalkan negaranya.
(77-78)
18. Untuk informasi memadai tentang lkhwanul Muslimin dan PKS, baca bukuHaedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, cet. K25, 2007).
(h.83)
"BAGAIMANA MODUS Wahabi beroperasi?"
a. Sistem Dakwah Kampus meniru selIkhwanul Muslimin Mesir
Gerakan Harakah (dakwah kampus) yang menggunakan sistem pembinaan (pendidikan) Tarbiyah Ikhwanul Muslimin di Negeri Mesir.
"Dalam artikelnya yang kedua, "Tiga Upaya Mu'allimin dan Mu’allimat", Farid mengungkapkan bahwa 'produk pola kaderisasi yg dilakukan virus Tarbiyah'membentuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang yang berpemahaman islamyang ekstreem dan radikal. Dan pola kaderisasi tersebut sudah menyebar keberbagai penjuru Muhammadiyah. Hal ini menyebabkan kekecewaan yang cukup tinggidi kalangan warga dan Pimipinan Muhammadiyah. Putra putri mereka yangdiharapkan menjadi kader penggerak Muhammadiyah malah bisa berbalik memusuhiMuhammadiyah."( Farid Setiawan,"Tiga Upaya Mu'allimin dan Mu’allimat",Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.)
b. Revolusioner dan Evolusioner
"Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. SepertiJI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yangdilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin ...bedanya, JI bersifat Revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Denganbom2 bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang.
Sebaliknya PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan yang sama selangkah demi selangkah dansuara demi suara ... Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskanapakah masa depannya akan sama dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain,atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan busana jubahfundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan Indonesia"
(Sadanand Dhume, "Indonesian Democracy's Enemy Within; RadicalIslam party threatens Indonesia with ballots more than bullets", dalam FarEastern Economic Review, Mei 2005 - seperti dikutip dalam ILUSI NEGARA ISLAM;Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia Wahid Institut (NU), MaarifInstitut(Muhammadiyah) dan Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, 2009)
(h.27)
c. Bahasa sama namun pemahaman berbeda
Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya,seperti dakwah, Amar Ma'ruf nahi munkar atau Islam rahmatan lil alamin, tapisebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.
(karena gerakan ideologis sering tidak terasa dan disadari oleh merekayang dimasukinya, maka secara sistematis berkembang menjadi besar dan merasuk.lebih lebih jika gerakan ideologi tersebut membawa ideologi Islam yang puritan dan militan, sehingga bagi yang menganggapnya sebagai masalah justru yang akan disalahkan adalah mereka yang mempermasalahnya. Menentang mereka berarti alergi Islam atau anti Ukhuwah. Dengan demikian gerakan ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara sistematik, yang dikemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius tapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikankarena telah meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang. Dayainfiltrasi gerakan ideologis memang berlangsung tersistem dan meluas, yangsering tidak disadari oleh banyak pihak - Haedar Nashir, Manifestasi GerakanTarbiyah; Bagaimana sikap Muhammadiyah? cetakan ke 5 Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,2007 hal 59)
Ditangan mereka, Amar ma'ruf nahi munkar telah dijadikan legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan dan penyerangan terhadap siapapun yang berbeda. mereka berdalih memperjuangkan Al ma'ruf dan menolak Al Munkar setiapkali melakukan aksi2 kekerasan atau pun mendiskreditkan orang atau pihak lain.
Sementara konsep rahmatan lil alamain digunakan sebagai dalihformalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan menuduhsiapapun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konseprahmatan lil alamin, sebelum akhirnya di cap murtad dan kafir. Padahal,sebenarnya semangat dasar dakwah adalah memberi informasi dan mengajak, danIslam menjamin kebebasan dalam beragama (la ikrah fi al din - Al Baqarah,2:256). Disini kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok2garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran dan terbuka.
Penggunaanbahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak umat Islam dan mudah menyusup kemana mana dan kapan saja. Dengan strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini telah menyusup dan berusaha mempengaruhimayoritas umat Islam untuk mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok2 garis keras sehingga mereka menjadi besar dan kuat dan semakin mudah memaksakan agenda2nya,bukan saja kepada ormas2 Islam besar tapi juga kepada pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis dan lembaga2 pendidikan. (h.32-33)
d. Tiga Aspek Kekerasan
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi,Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbukamaupun sembunyi'sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem,didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan a la komunisme, gerakangerakantransnasional ini menyusup ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dantoleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian,dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalambeberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal tertutup atas teks—teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini,literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik—praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan/ atau kafir. Kelompok kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi,karena itu mereka lazim menolak bermadzhab (alla madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktik yang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah. Akibatnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian a la busana Arab seperti gamis dan sorban, memanjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.
Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasanpertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yangdituduh musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalahkaprahandalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengantidak semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis,bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.
Menurut seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan Republik Indonesia (DephanRI), ancaman terhadap Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luarnegeri. Ancaman yang sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk gerakan ideologi garis keras. Senjata untuk mengatasinya adalah Pancasila.*
(*Penjelasanpejabat Tinggi Departemen Pertahanan Republik Indonesia kepada penelitikonsultasi pada tanggal 31 Juli 2008)
(88-89)
e. Penyebaran faham Wahabiyah denganbantuan Finansial Wahabi Saudi
Kritik keras dan gagasan strategis Ayatullah Khomeini (untuk jadikan Mekah dan Madinah sebagai milik Internasional dibawah PBB) telah membuat penguasa Wahabi-Saudi sadar bahwa borok—borok mereka terungkap secara telanjang ke dunia internasional. Hal ini sangat mengganggu dan menurunkan citra mereka sebagai Khadim al-Haramain. Maka sejak 3O tahunyang lalu penguasa Wahabi-Saudi telah membelanjakan uang yang mungkin sudah lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan melalui Rabithat al-‘Alam al Islami, International Islamic Relief Orgqanization (HRO), dan yayasan-yayasan lain keseluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki citra mereka melalui wahabisasi global.* Di Indonesia, Rabithat al Alam al-Islami dan HROmenyalurkan dananya —di antaranya— melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia(DDII), LIPIA,** MMI, Kompak, dan lain-lain.***
(*. PemerintahSaudi sendiri mengkui bahwa hingga tahun 2003 sudah mem' belanjnkan uangsebesar US$ 70 M (Baca dalam: “How Billions in Oil Money Spawned a GlobalTerror Network," dalam US News 8 World Rer, 15 Desember 2003).
**.Noorhaidi Hasan, "Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidationin PostSocharto Indonesia," Working Paper No. 143, S. Rajaratnam School ofInternational Studies (Singapore. 23 October 2007).
***.Zachary Abuza, “Jemaah lslamiyah Adopts the Hezbollah Model,” dalam Middle EastQuarterly. Winter 2009.)
(h.75)
Pada dekade1980—an proyek Wahabisasi global dengan dukungan dana (Saudi) dan sistem(Ikhwanul Muslimin) bergerak jauh lebih cepat. Hal ini dilaksanakan melaluiyayasawyayasan Wahabi seperti Rabithath allAlam al-Islami, al'Haramain,International Islamic ReliefOrganization (IIRO), clan banyak lainnya. Kelakal-Haramain ini menjadi terkenal saat PBB menyebutnya sebagai“terrorist'funding entity" yang membiayai aksi-aksi teror di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia.
(h.83-84)
f. Infiltrasi di Ormas Muhammadiyah,NU, MUI, Lembaga Pendidikan, Instansi Pemerintah dan Swasta
Contoh Infiltrasi:
- Infiltrasi di Muhammadiyah
Pada bulan Desember 2006 ormas Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor:l49/Kep/I.0/B/2006 tentang “Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah.” Surat Keputusan ini ditandatangani oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. HM. DinSyamsuddin, MA dan Sekretaris Umum Drs. HA. Rosyad Sholeh.
SKPP ini dikeluarkan dengan tujuan untuk“menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikanPersyarikatan". Apa tindakan yang merugikan itu? Ada sepuluh butirkeputusan yang dituangkan dalam SKPP tersebut. Secara garis besar tindakan yangdisebut merugikan itu antara lain adalah infiltrasi di tubuh Muhammadiyah dariorganisasi lain yang memiliki paham, misi, dan kepentingan yang berbeda denganMuhammadiyah.
SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik yang telah memanfaatkan Muhammadiyah untuk tujuan meraihkekuasaan politik. Karena itu SKPP menyerukan kepada para anggota dan piminan Muhammadiyah agar membebaskan diri dari misi dan tujuan partai politiktersebut. “Muhammadiyah harus bebas dari pengaruh, misi, infiltrasi, dankepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partaipolitik bersayap dakwah, di samping bebas dari misi/kepentingan partai politikdan organisasi lainnya sebagaimana kebijakan khittah Muhammadiyah."
Sejauh mana sebenarnya "cengkraman PKS dan gerakan garis keras lain dalam Muhammadiyah dan bagaimana itu bisa terjadi sehingga ormas terbesar kedua di Indonesia ini merasa khawatir? Di sini akan digaris bawahi poin-poin yang disebut SKPP sebagai penyusupan partai politik bersayap dakwah yang memanfaatkan amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya milik Muhammadiyah untuk kegiatan politik. Aktivitas PKS ditubuh Muhammadiyah yang mengatas namakan dakwah seperti pengajian dan pembinaan keumatan, juga disebut dalam SKPP ini sebagai telah digunakan untuk kepentingan politik.
Bukan hanya itu, organ-organ media massa yang berada di lingkungan Muhammadiyah rupanya juga telah disusupi gerakan gariskeras, baik oleh orang orang yang berasal dari luar maupun yang sejak semula merupakan anggota Muhammadiyah lalu menjadi aktivis kelompok garis keras sambil tetap menancapkan kakinya di Muhammadiyah. SKPP menyerukan agar seluruh media massa yang berada di lingkungan Muhammadiyah benar-benar menyuarakan paham, misi, dan kepentingan Muhammadiyah serta menjadi wahana untuk sosialisasi paham, pandangan, keputusan, kebijakan, kegiatan, dan syiar Muhammadiyah serta menjauhkan diri dari paham, misi, dan kepentingan organisasi/gerakan lain.
SKPP Muhammadiyah ini memang lahir untuk memperkuat upaya konsolidasi di tubuh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwaadanya infiltrasi ideologi dan gerakan lain di tubuh Muhammadiyah telah dianggap sebagai persoalan yang serius. Salah satu buktinya adalah munculnya sikap mendua di kalangan Muhammadiyah seperti dalam melaksanakan Hari Raya IdulFitri/Idul Adha, serta menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana kegiatan partaipolitik (baca: PKS), yang menimbulkan pengeroposan dan mengganggu keutuhanorganisasi.
(h. 179-180)
Isu PKS sebagai partai terbuka memperolehtantangan keras dari kalangan dalam PKS sendiri, akhirnya PKS kembali menjadipartai tertutup, hanya untuk kalangan Islam dan konsisten perjuangkan syariat Islam. Mengapa PKS begitu mudah memungkiri kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya di Mukemas Bali? Tampaknya PKS ingin menempuh politik bermuka dua: untuk konsumsi publik yang lebih luas ia perlu menegaskan identitassebagai partai terbuka dan bervisi kebangsaan dengan retorika menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai telah final bagi bangsa Indonesia. Namun dihadapan konstituennya ia tetap menyatakan diri sebagai partai dakwah berasas Islam, dan syariat Islam wajib dengan konsisten dijalankan oleh setiap pemeluk agama Islam (Piagam Jakarta). Jika begitu, bukankah berarti bahwa retorika penerimaan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebagai tameng.
Menjadi jelas bahwa PKS sangat terganggu dengan SKPP Muhammadiyah. Karena itu berbagai cara ditempuh agar SKPP itu tidak relevan bagi PKS. Salah satu caranya adalah memasang tameng penghalang. Ibarat bermain catur, ketika sang rajadi-skak maka cara yang aman adalah menghalanginya dengan buah catur yang lain. Dalam hal ini, Pancasila dan UUD 1945 digunakan sebagai buah catur (tameng penghalang dari serangan musuh). Persis di sinilah letak bahayanya. Infiltrasi di Muhammadiyah yang berakibat keluarnya SKPP justru dimanfaatkan oleh PKS untuk menyusup lebih jauh ke jantung kesadaran bangsa Indonesia, yaitu dengan mengklaim telah menerima Pancasila dan UUD 1945. Dengan begitu. bukan saja SKPP Muhammadiyah “menjadi tidak relevan," tapi juga kecurigaan bahwa PKS pada akhirnya mencita-citakan pendirian negara Islam “menjadi tidak berdasar.” Sayangnya, orang Melayu terlanjur yakin pada pepatah bahwa: “Ular yang paling berbahaya adalah ular yang bisa berubah warna!”
(h. 188.)
- Penyusupan di Nahdlatul Ulama
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) pantas merasa terusik dengan berbagai perkembangan yang dianggap membahayakan bangsa dan organisasinya, terutama menyangkut paham Ahlussunah wal Jamaah yang dianut warga NU. Ditengarai bahwa gerakan—gerakan garis keras telah menyusup ke dalam NU melalui masjid-masjid, majlis—majlis taklim, dan pondok-pondok pesantrenyang menjadi basis warga Nahdliyin (sebut— an untuk warga NU).
Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menyebut bahwa masjid-masjid yang selama ini dibangun dan dikelola oleh warga NU berikut takmir masjid dantradisi ritual peribadatannya telah diambil alih oleh kelompok Islam ekstrim. Menurutnya, hal itu dilakukan karena kelompok yang kerap mem'bid'ahkan bahkan mengkafirkan warga Nahdliyyin itu “[T]tidak mampu membuat masjid sendiri, kemudian mengambil alih masjid orang lain (masjid warga nahdliyyin, red), terus dipidatoin di situ untuk politisasi. Kan maksudnya begitu. Yang dirugikan akhirnya NU," ungkap Hasyim Muzadi yang menyebut kelompok ekstrem itu antara lain adalah pengusung wacana Khilaf'ah Islamiyah, yakni Hizbut Tahrir Hasyim menginstruksikan semua pengurus NU di seluruh Indonesia untuk menjaga masjid agar tidak dimasuki oleh kelompok— kelompok garis keras. Ia jugamengingatkan agar kelompok-kelompok garis keras itu diwaspadai karena secara keyakinan memang sudah tidak segaris dengan NU. “Mereka adalah kelompok yang ingin mendirikan negara Islam,” tegasnya.*
*“Hasyimlmbau Takmir Masjid NU Waspada,“ lihat NU Online, Selasa, 28 November 2006.
(189-190)
lnfiltrasi di Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Menguatnya peran MUI akhir-akhir ini patut mendapatkanperhatian khusus. Kevokalan MUI dalam menyuarakan berbagai pandangan dan tuntutannya juga paralel dengan kecenderungan ini. Yang membuat MUI lebih kuatdari ormas keagaman umumnya adalah karena keterkaitan langsung lembaga agama bikinan Orde Baru ini dengan pemerintah. Karena sejak awal didirikannyadiniatkan sebagai instrumen pemerintah otoriter untuk menyangga kekuasaan dan menjinakkan gerakan keagamaan anti pemerintah, maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar. Ia, misalnya, memiliki cabang di seluruh Indonesia, secara formal dari kabupaten, propinsi hingga pusat dan memiliki struktur informal di tingkat kecamatan. Seluruh struktur tersebut mendapatkan biaya dari negara. Sementara di pihak lain, MUI bisa mencari dana tambahan dari proyek-proyek keagamaan yang diciptakannya tanpa dikontrol oleh pemerintah dan publik, seperti dari sumber proyek labelisasi halal untuk makanan, kedudukannya yang penting dalam Bank Syari'ah di seluruh perbankan yang membuka gerai Syari’ah, serta proyek-proyek politik tertentu dari pemerintah seperti sosialisasi RUU tertentu yang berkaitan dengan isu agama*.
Ormas Islam apa pun yang doktrin dan akidahnya benar menurut MUI, maka bisa bergabung dan punya wakil di dalamnya tanpa mempertimbangkanjumlah anggota oraganisasinya. Akibatnya, wakil organisasi besar dan moderat seperti NU dan Muhammadiyah tidak representatif dibandingkan dengan gerakan garis keras kecil yang anggotanya hanya puluhan ribu saja. MUI memiliki hak prerogatif untuk menentukan sah dan tidak, benar dan sesatnya suatu keyakinan untuk menjadi anggota. Ahmadiyah, misalnya, karena dianggap menyimpang, bukanhanya tidak bisa masuk menjadi anggota, MUI bahkan mendesak pemerintah untukmelarangnya (MRORI'WI N0. 4). Sementara, betapa pun subversifnya secara politik, jika MUI menilai tidak ada penyimpangan, akan diakomodasi. Salah satu contoh paling memprihatinkan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam doktrinnya, HTI menyatakan sebagai organisasi politik yang anti demokrasi, atau dalam bahasa agama mengharamkan demokrasi dan memperjuangkan Khilafah Islamiyah. HTI mengaku dan berusaha melenyapkan Pancasila dan meruntuhkan NKRI. Dengan demikian, dari sudut manapun HTI gerakan subversif, namun keberadaanya diakomodasi oleh MUI, bahkan anggota HTI menggurita di dalam struktur MUI dari pusat sampai daerah.** Tidak bisa dibayangkan jika suatu saat HTI menjadi besar dan hampir pasti akan berhadapan dengan eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa.
Sistem keanggotaan MUI yang demikian, serta lemahnya orientasi dan pengamalan spiritual di antara kebanyakan anggotanya, membuatproduk-produk dan fatwa yang dikeluarkannya sejalan dengan arus gerakan garis keras. Ini disebabkan karena wakil ormas-ormas Islam yang moderat tidak banyak meskipun dihitung dari jumlah anggotanya sangat besar. Karena inilah, MUImenjadi salah satu target utama penyusupan para agen garis keras dan alat mereka dalam usaha menegakkan ideologi dan mewujudkan agenda politik mereka.
Akibat selanjutnya adalah bahwa organisasi Islam dengan doktrin apa pun, termasuk organisasi dan gerakan fundamentalis yang antidemokrasi dan anti Pancasila sekali pun, terkecuali yang secara nyata dicap sebagai teroris seperti ]amaah Islamiyah (II), bisa menjadi anggota dan mendominasi MUI. Dari kenyataan demikian, MUI sesungguhnya bisa dikatakan sebagai bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia.*** Lebih dari itu, karena MUI dibiayai oleh pemerintah, maka organisasi dan gerakan fundamentalis juga mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui MUI tersebut untuk tujuanmereka menghancurkan dasar negara. Pemerintah, dengan demikian, melakukan capacity building gerakan fundamentalis dan radikal, bahkan yang anti Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sekalipun.
*Ahmad Suaedy dkk. KataPengantar: “Fatwa MUI dan Problem Otoritas Keagamnan" dalam Kala FatwaJadi Pcnjara (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. x-xxv
**ibid
**http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/718/52/
(198-200)
"KEMANA mau dibawa RI?"
a. Formalisasi Islam - Perda dan HukumSyariah
Formalisasi hukum Islam sebagai hukum positif melalui Perda-perdaSyari‘ah di beberapa daerah merupakan strategi “desa mengepung kota” gariskeras. “Jika daerah-daerah telah menerapkan syari‘ah Islam sebagai hukum positif, maka tidak akan ada alasan untuk menolaknya secara nasional,"jelas tokoh-tokoh kelompok garis keras kepada peneliti kami terkait usaha formalisasi hukum Islam yang mereka lakukan. Sialnya, perda-perda dimaksud lebih merupakan aplikasi harfiah dan parsial atas hukum Islam, maka bisadipastikan akan menimbulkan distorsi dan reduksi terhadap Islam itu sendiri, disamping diskriminasi dan alienasi terhadap non-Muslim maupun Muslim sendiri.
(h.103)
Sumber pustaka:
ILUSI NEGARA ISLAM; EkspansiGerakan Islam Transnasional di Indonesia
Wahid Institut (NU), Maarif Institut(Muhammadiyah) dan Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H