c.      Bahasa sama namun pemahaman berbeda
Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya,seperti dakwah, Amar Ma'ruf nahi munkar atau Islam rahmatan lil alamin, tapisebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.
(karena gerakan ideologis sering tidak terasa dan disadari oleh merekayang dimasukinya, maka secara sistematis berkembang menjadi besar dan merasuk.lebih lebih jika gerakan ideologi tersebut membawa ideologi Islam yang puritan dan militan, sehingga bagi yang menganggapnya sebagai masalah justru yang akan disalahkan adalah mereka yang mempermasalahnya. Menentang mereka berarti alergi Islam atau anti Ukhuwah. Dengan demikian gerakan ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara sistematik, yang dikemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius tapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikankarena telah meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang. Dayainfiltrasi gerakan ideologis memang berlangsung tersistem dan meluas, yangsering tidak disadari oleh banyak pihak - Haedar Nashir, Manifestasi GerakanTarbiyah; Bagaimana sikap Muhammadiyah? cetakan ke 5 Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,2007 hal 59)
Ditangan mereka, Amar ma'ruf nahi munkar telah dijadikan legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan dan penyerangan terhadap siapapun yang berbeda. mereka berdalih memperjuangkan Al ma'ruf dan menolak Al Munkar setiapkali melakukan aksi2 kekerasan atau pun mendiskreditkan orang atau pihak lain.
Sementara konsep rahmatan lil alamain digunakan sebagai dalihformalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan menuduhsiapapun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konseprahmatan lil alamin, sebelum akhirnya di cap murtad dan kafir. Padahal,sebenarnya semangat dasar dakwah adalah memberi informasi dan mengajak, danIslam menjamin kebebasan dalam beragama (la ikrah fi al din - Al Baqarah,2:256). Disini kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok2garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran dan terbuka.
Penggunaanbahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak umat Islam dan mudah menyusup kemana mana dan kapan saja. Dengan strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini telah menyusup dan berusaha mempengaruhimayoritas umat Islam untuk mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok2 garis keras sehingga mereka menjadi besar dan kuat dan semakin mudah memaksakan agenda2nya,bukan saja kepada ormas2 Islam besar tapi juga kepada pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis dan lembaga2 pendidikan. (h.32-33)
d.     Tiga Aspek Kekerasan
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi,Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbukamaupun sembunyi'sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem,didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan a la komunisme, gerakangerakantransnasional ini menyusup ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dantoleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian,dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalambeberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal tertutup atas teks—teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini,literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik—praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan/ atau kafir. Kelompok kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi,karena itu mereka lazim menolak bermadzhab (alla madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktik yang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah. Akibatnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian a la busana Arab seperti gamis dan sorban, memanjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.
Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasanpertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yangdituduh musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalahkaprahandalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengantidak semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis,bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.