"Ini buat Mama aja, Aina." Aku menolak halus.
"Potongan pertama buat kakak kembarku, setelahnya buat Mama."
Lagi, tangan kiri gadis kecil itu membuka mulutku secara paksa. Mau tidak mau, aku menggigit sepotong kue yang ia sodorkan. Raut bahagia tampak dari wajah Aina. Sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu.
Setelah selesai, Aina mengambil potongan kedua, lalu menyuapkannya kepada Mama. Tatapan elang yang tadi ditujukan kepadaku, kini berubah menjadi tatapan teduh kepada Aina; seteduh pohon yang mengayomi lingkungannya. Setelahnya, Aina memberikan potongan terakhir untuk Papa, laki-laki tangguh sebagai pilar rumah tangga. Lengkung bulan sabit terpancar dari sudut bibir Mama dan Papa, tanda kebahagiaan telah terpatri di antara mereka. Pemandangan ini tampak seperti keluarga bahagia meski tanpa diriku di dalamnya.
Surabaya, 19 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H