Mohon tunggu...
Aksara Adeera
Aksara Adeera Mohon Tunggu... Administrasi - Admin

Bukan penulis, hanya orang yang hobi nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mama, Mengapa Aku Berbeda?

19 September 2023   16:25 Diperbarui: 19 September 2023   16:36 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mengapa aku berbeda, Ma? Bukankah aku putri Mama juga? Aku lahir dari rahim Mama, 'kan?" cecarku pada wanita muda yang kusebut Mama.

Wanita itu melengos seolah tidak melihat kehadiranku. Ia masih acuh tak acuh meski aku masih mematung di hadapannya. Raut mukanya datar dan terlihat angkuh seperti biasanya.

"Ma ...," lirihku. Aku menarik jemari lembut miliknya, tetapi wanita itu masih terdiam. "Aku ingin mendapat kasih sayang yang sama seperti Aina."

Cairan bening mengalir deras tanpa jeda, membasahi kedua pipi yang semula kering. Saking derasnya, satu tanganku tidak cukup untuk menghentikan alirannya. Hati ini tidak mampu menahan ribuan jarum yang menghunjam, sakit rasanya. Sayangnya, Mama tetap acuh tak acuh, membiarkan tangan mungilku terus menggenggam jemarinya meski dirinya tidak menatap ke arahku sedikit pun.

Pada waktu yang bersamaan, Aina---adik kembarku---menuruni anak tangga dan langsung menghambur ke pelukan Mama. Kulihat senyum di bibir Mama mengembang, lalu menyambut Aina dengan kecupan. Sayangnya, hal itu tidak pernah aku dapatkan. Kasih sayang yang Mama berikan sangat berbeda seolah-olah diriku bukanlah putri kandungnya.

"Sebentar lagi tanggal tujuh belas, apa Mama akan merayakan ulang tahun Aina?" tanya Aina dengan sikap manja.

"Iya, dong. Mama dan Papa pasti merayakan ulang tahunmu. Kan, kamu anak kesayangan kami." Mama berucap tanpa memedulikan diriku yang sedari tadi menatap kebahagiaan kecil terpampang di depan mata.

'Aku merindukanmu, Ma. Sejak kecil, aku tidak pernah dipeluk mesra oleh Mama. Aku tidak tahu bagaimana rasanya bergelayut manja di pangkuanmu seperti Aina.'

Mata ini memburam, tertutup kaca-kaca bening yang menggumpal dan membasahi kelopak mata. Tidak berapa lama, sang kristal mulai berjatuhan, berlomba terjun bebas menuju titik terendah. Namun, aku memilih mengabaikannya, tidak sedikit pun berniat mengusap bekas air mata yang membasahi pipi.

Tanpa sadar, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh sejenak, menatap polos sosok lelaki jangkung di hadapan. Usapan jemari kekarnya terasa lembut saat mengenai lelehan air mata yang menggantung. Diusapnya lelehan itu hingga tidak tersisa. Detik berikutnya, lelaki itu merekatkan bibir di keningku, mendaratkan kecup hangat sebagai pelipur lara. 

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Papa sambil menatap lekat ke arahku.

Aku hanya menggeleng pelan, rasanya tidak mampu mengungkapkan sesak yang menjalari dada. Refleks kupeluk tubuh Papa, lalu menyandarkan kepala pada dada bidangnya. Lagi-lagi isak tangisku keluar, tidak mampu lagi menyembunyikan kekecewaan itu. Pemandangan itu menyisakan luka yang menggores hati. Jemari kasar Papa mengusap lembut air mata ini. Tanpa sadar, mata Papa berkaca-kaca ketika melihat putri kecilnya terisak.

"Aira, putri kecil Papa yang hebat. Jangan sedih, ya! Ada Papa di sini, Nak." Papa menciumku berulang kali, tidak lupa jemarinya aktif mengusap lelehan air mata yang mengalir semakin deras.

Papa, satu-satunya orang yang peduli dengan kehadiranku. Sifatnya yang bijaksana dan penuh kasih sayang membuatku enggan jauh darinya. Sayangnya, Papa tidak bisa menemaniku selama 24 jam sebab dirinya adalah karyawan kantor yang pergi pagi dan pulang ketika senja menjemput. Saat di rumah, waktuku bersamanya hanya malam hari setelah Papa pulang kerja. Selebihnya, aku hanya di rumah bersama Mama dan adikku, Aina.

***

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berniat menyelinap ke kamar Aina dan mengajaknya bermain bersama. Kamarku ada di pojok belakang sedangkan kamar Aina bersebelahan dengan kamar Mama dan Papa. Jika ingin ke kamar Aina, artinya diriku harus melewati kamar Mama terlebih dahulu.

Saat di depan kamar Mama, pintunya sedikit terbuka. Aku menghentikan langkah dan mengurungkan niat untuk pergi ke kamar Aina sebab Mama pasti melarang dan memarahiku jika ketahuan. Samar-samar terdengar suara mereka mengobrol. Kucoba mendekat sambil mengintip di dekat pintu.

"Sebentar lagi tanggal tujuh belas, Pa. Kita rayakan ulang tahun Aina, ya?" tanya mamaku membuka pembicaraan.

"Wah, ide bagus, Ma. Sekalian bareng ulang tahun Aira, ya? Kan, dia putri kita juga. Kasihan kalau dibeda-bedain begitu." Jawaban Papa terdengar jelas.

Aku melihat Mama mengembuskan napas kasar, lalu sedikit menjauh dari lelaki di sampingnya. "Aira putriku sudah meninggal lima tahun lalu, Pa." Matanya terasa kosong, menatap lurus ke arah cermin yang terpaku di sudut kamar.

Kulihat jelas bahwa Papa mendekat ke arah Mama, lalu memeluknya dari belakang. Tangannya menyentuh pundak Mama, membalikkan badan dan memeluknya erat. "Bagaimanapun, Aira tetap putri kita, Ma. Dia juga butuh kasih sayangmu. Jangan diabaikan seperti itu. Please, kamu jangan egois!" 

"Maaf, aku belum siap," lirih Mama.

***

Mendengar jawaban Mama membuat hati ini sakit. Kasih sayang dan perhatian yang selama ini aku impikan, sepertinya tidak akan kudapatkan dari wanita yang kupanggil Mama. Hati Mama seolah mati rasa sebab tiada kata maaf untukku.

Aku berlari ke kamar dan menangis seraya merutuki diri. Menyayangkan kecerobohan beberapa tahun silam hingga membuat adik kembarku celaka. Andai waktu bisa diputar, pasti akan aku perbaiki segala kesalahan di masa lalu.

"Sayang, Papa boleh masuk, kan?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku.

"Boleh, Pa." Aku mengusap air mata yang masih membasahi pipi, menyisakan bulu mata basah akibat derasnya hujan air mata barusan.

"Kenapa nangis?" tanya Papa dari kejauhan.

Aku menggeleng pelan. Namun, bekas air bening dan mata sembap tidak dapat membohongi keadaan. Papa mendekat, membelai rambut hitam yang tergerai begitu saja.

"Jangan nangis, Sayang. Kan, anak Papa kuat." Papa memberi kecupan hangat di keningku.

"Kenapa Mama tidak menginginkan Aira? Apa Mama membenci Aira?" tanyaku dengan suara parau.

"Tidak, Sayang. Mama butuh waktu untuk kembali seperti semula. Mama sayang sama Aira, kok." Papa mendekap tubuh mungilku yang masih bergetar akibat isak tangis pecah. "Papa ada kabar gembira untukmu, tapi ...."

Aku melepas pelukan Papa, lalu mendongakkan wajah ke arahnya. "Tapi apa, Pa?" 

"Aira harus janji sama Papa, tidak boleh sedih lagi. Janji?" Papa menyodorkan kelingkingnya.

Aku tersenyum sambil mengaitkan kelingking. "Janji, Pa. Jadi, apa kabar gembiranya?"

"Papa dan Mama akan merayakan ulang tahun kalian."

Mataku spontan membulat, tercengang mendengar penuturan Papa barusan. Kaget sekaligus senang sebab baru kali pertama mereka merayakan ulang tahunku juga.

"Mama setuju?" Sebuah pertanyaan polos terlontar dari bibirku.

Papa mengangguk, lalu mengulas senyum lebar di bibir. Matanya berkaca-kaca, menampilkan raut bahagia di wajahnya. Sejenak, lelaki itu mengusap puncak kepalaku pelan.

"Terima kasih, Papa." Aku memeluk tubuh tambun Papa.

Saat berpelukan, potongan visualisasi tragedi beberapa tahun silam terlintas dalam benak. Masih terekam jelas ketika seseorang mendorong tubuh mungilku hingga tersungkur. Spontan aku menoleh, mendapati tubuh adik kembarku tergeletak bersimbah darah di tengah jalan. Aku menghampiri Aina dengan setengah berlari. Di sana, kerumunan orang telah mengelilingi tubuh mungil yang tidak berdaya itu. Mereka hanya menatap, tidak ada yang berani menolong Aina sedang tidak sadarkan diri.

Aku mendekat, lalu membelah kerumunan itu. Lekas kupeluk tubuh Aina yang masih tergeletak dan berteriak memanggil namanya, berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkan dia. Sayangnya, usahaku tidak membuahkan hasil sebab darah segar telah mengucur deras dari kepalanya. Tidak berapa lama, Papa datang dan segera menggendong Aina menjauh dari kerumunan. Sementara itu, Mama berusaha memanggil taksi yang sedang mangkal di ujung jalan.

Tidak berapa lama, Mama datang bersama taksi yang barusan dipanggil. Detik berikutnya, ia bergegas membuka pintu belakang, lalu menyuruh Papa segera membawa Aina masuk. Setelah itu, Mama menyeret lengan ini dan menyuruhku duduk di kursi depan.

"Kamu ceroboh! Bodoh sekali kamu jadi kakak, Aira! Lihat, adikmu sampai begini gara-gara kamu!"

Di dalam mobil, Mama terus memaki diri ini dan sesekali menjambak rambutku dari kursi belakang. Setelahnya, Mama langsung meminta supir untuk menambah kecepatan karena dirinya sangat mengkhawatirkan keadaan Aina. Baru kali ini aku melihat Mama menangis. Sejatinya, dia adalah wanita tegar yang tidak pernah menampakkan kesedihan di hadapan anak-anaknya.

"Maafkan aku, Ma ...," ucapku lirih, tetapi tidak berani menatap ke arahnya.

"Maaf saja tidak cukup, bodoh! Kamu hampir membuat adikmu mati! Dengar, Aira! Mulai sekarang, kamu bukan anakku lagi!" Mama berteriak histeris seraya menjambak rambutku lagi.

"Cukup, Ma!" Papa berusaha melerai dengan menarik tangan istrinya.

"Kamu jangan membela dia terus, Pa. Lihat, apa yang dia lakukan pada Aina!"

"Iya, aku tahu, tapi Aira masih kecil, Ma!"

"Sudahlah, aku tidak mau berdebat lagi! Kalau Aina kenapa-napa, aku tidak akan memaafkan anak ini!"

Sekali lagi, Mama menjambak rambutku dengan kencang. Spontan hal itu membuatku meringis kesakitan. Aku berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di kepala. Namun, ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh Aina.

Sejak kejadian lima tahun silam, Mama tidak lagi menganggapku ada. Tidak pernah sekalipun beliau menyebut namaku. Hati Mama sudah sekeras batu setelah aku membuat Aina tertabrak mobil. Hari demi hari hanya kuhabiskan dengan deraian air mata, meratapi nasib seorang anak yang tidak lagi dianggap oleh ibu kandungnya. Bahkan, beliau tidak pernah mengizinkanku bermain bersama Aina lagi. Jika ditanya oleh teman atau tetangga baru, beliau selalu berkata bahwa aku adalah anak Bi Warni---ART di rumah kami.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Hari ini adalah tanggal 17, tepat hari ulang tahunku dengan Aina. Benar kata Papa, ulang tahun kami akan dirayakan. Ada dekorasi sederhana serta balon-balon yang memenuhi setiap sudut ruangan. Selain itu, tertempel ucapan "Happy Birthday Aira dan Aina" di dinding rumah ini.

Tidak berapa lama, aku melihat Mama menuruni anak tangga bersama Aina. Adik kembarku terlihat cantik mengenakan gaun kembaran dengan Mama berwarna merah muda dipadu pernak-pernik mutiara serta rambut dikepang dua, sementara aku hanya mengenakan gaun putih polos yang Papa belikan kemarin. Ada sedikit rasa cemburu yang menjalari dada, tetapi sebisa mungkin kutepis agar tidak membuat Papa khawatir.

"Kenapa, Sayang?" tanya Papa membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak ada, Pa. Aira baik-baik saja," ujarku memaksa tersenyum.

"Ya sudah, Nak. Biarkan Aina bersama Mama, kamu di sini aja sama Papa, ya." Mendengar itu, aku hanya mengangguk pelan.

Tidak berapa lama, semua tamu undangan telah hadir. Mama segera mengeluarkan kue tart bertuliskan "Happy Birthday Aina 12 tahun". Beliau menyuruh Aina mendekat dan meniup lilin ulang tahun. Setelahnya, Mama memberi kado spesial dan menghadiahi Aina dengan kecupan bertubi-tubi. Sementara itu, aku hanya terdiam menatap semuanya.

'Aira ingin seperti itu karena Aira juga putri Mama ....'

"Sini, Kak!" Aina tiba-tiba melambaikan tangan ke arahku.

Aku mendekat, mengikuti instruksi darinya. Tiba-tiba, ia menarik pergelangan tanganku, lalu menyuruhku memegang pisau untuk memotong kue. Kemudian, tangannya diletakkan di atas tanganku.

"Kita potong bareng-bareng, ya, Kak. Satu ... dua ... tiga!" tutur Aina. Aku hanya mengikuti pergerakan tangannya.

"Potongan pertama untuk Kak Aira, kakakku tercinta. Aaaa ...."

Tanpa diduga, Aina memberikan potongan kue pertama untukku. Sebelum menerimanya, diri ini menatap ke arah Mama. Tampak raut ketidaksukaan yang terpancar dari wajahnya.

"Ini buat Mama aja, Aina." Aku menolak halus.

"Potongan pertama buat kakak kembarku, setelahnya buat Mama."

Lagi, tangan kiri gadis kecil itu membuka mulutku secara paksa. Mau tidak mau, aku menggigit sepotong kue yang ia sodorkan. Raut bahagia tampak dari wajah Aina. Sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu.

Setelah selesai, Aina mengambil potongan kedua, lalu menyuapkannya kepada Mama. Tatapan elang yang tadi ditujukan kepadaku, kini berubah menjadi tatapan teduh kepada Aina; seteduh pohon yang mengayomi lingkungannya. Setelahnya, Aina memberikan potongan terakhir untuk Papa, laki-laki tangguh sebagai pilar rumah tangga. Lengkung bulan sabit terpancar dari sudut bibir Mama dan Papa, tanda kebahagiaan telah terpatri di antara mereka. Pemandangan ini tampak seperti keluarga bahagia meski tanpa diriku di dalamnya.

Surabaya, 19 September 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun