"Aira harus janji sama Papa, tidak boleh sedih lagi. Janji?" Papa menyodorkan kelingkingnya.
Aku tersenyum sambil mengaitkan kelingking. "Janji, Pa. Jadi, apa kabar gembiranya?"
"Papa dan Mama akan merayakan ulang tahun kalian."
Mataku spontan membulat, tercengang mendengar penuturan Papa barusan. Kaget sekaligus senang sebab baru kali pertama mereka merayakan ulang tahunku juga.
"Mama setuju?" Sebuah pertanyaan polos terlontar dari bibirku.
Papa mengangguk, lalu mengulas senyum lebar di bibir. Matanya berkaca-kaca, menampilkan raut bahagia di wajahnya. Sejenak, lelaki itu mengusap puncak kepalaku pelan.
"Terima kasih, Papa." Aku memeluk tubuh tambun Papa.
Saat berpelukan, potongan visualisasi tragedi beberapa tahun silam terlintas dalam benak. Masih terekam jelas ketika seseorang mendorong tubuh mungilku hingga tersungkur. Spontan aku menoleh, mendapati tubuh adik kembarku tergeletak bersimbah darah di tengah jalan. Aku menghampiri Aina dengan setengah berlari. Di sana, kerumunan orang telah mengelilingi tubuh mungil yang tidak berdaya itu. Mereka hanya menatap, tidak ada yang berani menolong Aina sedang tidak sadarkan diri.
Aku mendekat, lalu membelah kerumunan itu. Lekas kupeluk tubuh Aina yang masih tergeletak dan berteriak memanggil namanya, berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkan dia. Sayangnya, usahaku tidak membuahkan hasil sebab darah segar telah mengucur deras dari kepalanya. Tidak berapa lama, Papa datang dan segera menggendong Aina menjauh dari kerumunan. Sementara itu, Mama berusaha memanggil taksi yang sedang mangkal di ujung jalan.
Tidak berapa lama, Mama datang bersama taksi yang barusan dipanggil. Detik berikutnya, ia bergegas membuka pintu belakang, lalu menyuruh Papa segera membawa Aina masuk. Setelah itu, Mama menyeret lengan ini dan menyuruhku duduk di kursi depan.
"Kamu ceroboh! Bodoh sekali kamu jadi kakak, Aira! Lihat, adikmu sampai begini gara-gara kamu!"