***
Mendengar jawaban Mama membuat hati ini sakit. Kasih sayang dan perhatian yang selama ini aku impikan, sepertinya tidak akan kudapatkan dari wanita yang kupanggil Mama. Hati Mama seolah mati rasa sebab tiada kata maaf untukku.
Aku berlari ke kamar dan menangis seraya merutuki diri. Menyayangkan kecerobohan beberapa tahun silam hingga membuat adik kembarku celaka. Andai waktu bisa diputar, pasti akan aku perbaiki segala kesalahan di masa lalu.
"Sayang, Papa boleh masuk, kan?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku.
"Boleh, Pa." Aku mengusap air mata yang masih membasahi pipi, menyisakan bulu mata basah akibat derasnya hujan air mata barusan.
"Kenapa nangis?" tanya Papa dari kejauhan.
Aku menggeleng pelan. Namun, bekas air bening dan mata sembap tidak dapat membohongi keadaan. Papa mendekat, membelai rambut hitam yang tergerai begitu saja.
"Jangan nangis, Sayang. Kan, anak Papa kuat." Papa memberi kecupan hangat di keningku.
"Kenapa Mama tidak menginginkan Aira? Apa Mama membenci Aira?" tanyaku dengan suara parau.
"Tidak, Sayang. Mama butuh waktu untuk kembali seperti semula. Mama sayang sama Aira, kok." Papa mendekap tubuh mungilku yang masih bergetar akibat isak tangis pecah. "Papa ada kabar gembira untukmu, tapi ...."
Aku melepas pelukan Papa, lalu mendongakkan wajah ke arahnya. "Tapi apa, Pa?"Â