Di dalam mobil, Mama terus memaki diri ini dan sesekali menjambak rambutku dari kursi belakang. Setelahnya, Mama langsung meminta supir untuk menambah kecepatan karena dirinya sangat mengkhawatirkan keadaan Aina. Baru kali ini aku melihat Mama menangis. Sejatinya, dia adalah wanita tegar yang tidak pernah menampakkan kesedihan di hadapan anak-anaknya.
"Maafkan aku, Ma ...," ucapku lirih, tetapi tidak berani menatap ke arahnya.
"Maaf saja tidak cukup, bodoh! Kamu hampir membuat adikmu mati! Dengar, Aira! Mulai sekarang, kamu bukan anakku lagi!" Mama berteriak histeris seraya menjambak rambutku lagi.
"Cukup, Ma!" Papa berusaha melerai dengan menarik tangan istrinya.
"Kamu jangan membela dia terus, Pa. Lihat, apa yang dia lakukan pada Aina!"
"Iya, aku tahu, tapi Aira masih kecil, Ma!"
"Sudahlah, aku tidak mau berdebat lagi! Kalau Aina kenapa-napa, aku tidak akan memaafkan anak ini!"
Sekali lagi, Mama menjambak rambutku dengan kencang. Spontan hal itu membuatku meringis kesakitan. Aku berusaha menahan rasa sakit yang menjalar di kepala. Namun, ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh Aina.
Sejak kejadian lima tahun silam, Mama tidak lagi menganggapku ada. Tidak pernah sekalipun beliau menyebut namaku. Hati Mama sudah sekeras batu setelah aku membuat Aina tertabrak mobil. Hari demi hari hanya kuhabiskan dengan deraian air mata, meratapi nasib seorang anak yang tidak lagi dianggap oleh ibu kandungnya. Bahkan, beliau tidak pernah mengizinkanku bermain bersama Aina lagi. Jika ditanya oleh teman atau tetangga baru, beliau selalu berkata bahwa aku adalah anak Bi Warni---ART di rumah kami.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Hari ini adalah tanggal 17, tepat hari ulang tahunku dengan Aina. Benar kata Papa, ulang tahun kami akan dirayakan. Ada dekorasi sederhana serta balon-balon yang memenuhi setiap sudut ruangan. Selain itu, tertempel ucapan "Happy Birthday Aira dan Aina" di dinding rumah ini.