Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Terakhir Dokter Reza

5 November 2020   09:05 Diperbarui: 5 November 2020   09:19 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reza berjalan cepat menuju ruang isolasi pasien positif corona. Sudah lima hari ia tak bertemu dengan keluarga. Sebenarnya ia sangat ingin pulang, namun apa daya jika tugas kemanusiaan ia tinggalkan. 

Meski hati resah tak menentu, pikiran terkuras habis-habisan, dan lelah fisik, ia harus menyelamatkan pasien-pasien yang terkapar di rumah sakit tempatnya bekerja.

Beberapa kali ia sempat mengeluh beratnya tugas yang diemban, namun ia teringat akan sumpah dokter. Ia berjanji akan mengorbankan segalanya demi keselamatan pasien. Menjadi dokter tak semata-mata mengincar gaji tinggi sebagai tambal sulam karena telah menyelesaikan studi di fakultas mentereng dan mahal. 

Bukan juga mengincar prestise di mata kaum duafa sebagai pahlawan penyelamat nyawa manusia. Baginya, menjadi dokter adalah sebuah panggilan hati, suatu bentuk pengorbankan jiwa demi menyelamatkan semua manusia di bumi.

Kamar 05 berisi seorang remaja berusia 15 tahunan. Sudah satu minggu lamanya ia dinyatakan sebagai pasien positif virus corona. Beberapa kali ia mengalami sesak nafas, beberapa tenaga medis melayani dengan cekatan. Reza kembali mengukur suhu pasien yang suhunya semakin lama semakin tinggi.

"39, 8 derajat celcius."

Reza menyuruh seorang perawat untuk mencatat data-data perkembangan pasien, dengan sigap si perawat mencatat data-data pasien, sesuai dengan instruksinya. Reza melanjutkan pemeriksaan ke pasien selanjutnya. Rasa lelah mulai menghampirinya. Mata yang  tadinya putih, perlahan memerah. Berkali-kali ia ingin menguap, tapi ia tahan karena merasa tak enak dengan rekan-rekan lain.

Saat ia sedang memeriksa, tiba-tiba terdengar suara:

"Uhuk, uhuk!"

Seketika ruangan menjadi hening. Semua mata menatap Reza. Yang ditatap sebenarnya begitu takut, namun ia mencoba tenang.

"Suster Ira, tolong segera telpon dokter Luqman. Katakan kepada beliau tentang kondisi saya, dan katakan juga bahwa rumah sakit ini butuh dokter tambahan untuk menggantikan saya. Suster Mei, segera siapkan satu ruangan isolasi."

"Untuk siapa dok?" Tanya suster Mei tak paham.

"Untuk saya."

"Tapi dok..."

"Segera persiapkan, jangan sampai kalian tertular karena saya."

Suster Mei setengah tak percaya bahwa dokter Reza akan mengisolasi dirinya sendiri meski belum dinyatakan positif corona. Badannya terasa kaku, namun entah mendapat kekuatan dari mana, seakan ia terdorong oleh sesuatu yang membuatnya setengah berlari menyiapkan ruangan isolasi. Mata sipitnya mengeluarkan air mata, tak menyangka rekan sekaligus sahabat baiknya akan berakhir di ruang isolasi.

Reza bergegas menuju ke ruang isolas. Ia hubungi keluarga di rumah bahwa dalam waktu beberapa hari kedepan atau mungkin lebih tak bisa pulang ke rumah. Suara isak tangis isterinya begitu menyayat hati, namun apa daya dikata jika ia tak segera mengisolasi diri, akibat fatal akan membahayakan orang-orang sekitar.

"Enggak apa-apa. Aku akan segera pulang, kamu baik-baik ya di rumah?" 

*****

Tiga hari lamanya Reza mendekam di sebuah ruangan. Terasa pengap, meski sebenarnya ruangan itu begitu bersih, wangi, dan sejuk. Dadanya perlahan sesak, suhu badannya semakin meninggi. Ia merasa demam tinggi, kepalanya serasa berputar mengelilingi matahari dengan cepat.

Tak lama seorang dokter memeriksa keadaan Reza, suster Mei memasang infus ditangan kirinya. Sambil meringis menahan rasa sakit, Reza meminta dibawakan secarik kertas, amplop dan bolpoin, serta alas untuk menulis kepada suster Mei.

Suster Mei kembali ke ruangan Reza, membawa barang yang dimintanya.

"Ada yang bisa dibantu lagi dok?"

Reza menggelengkan kepala.

"Jika butuh bantuan, bisa hubungi saya lewat WA."

"Baik. Terima kasih."

Suster Mei pergi meninggalkan ruangan. Reza termenung sejenak, ada beberapa hal yang ingin ia sampaikan lewat secarik kertas kusam. Meski kesulitan menulis karena tangan kiri diinfus, ia mencoba menulis walau dengan keterbatasan. Perlahan tangan kanannya mulai menulis. Pelan tapi pasti, kata demi kata ia rangkai dengan baik. Sebuah surat tercipta darinya.

Kepada seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai,kiranya belum terlambat bagi saya untuk mengucapkan sesuatu buat kalian. Pastinya kebanyakan dari kalian sudah mengerti adanya wabah internasional yang sedang melanda dunia. 

Tanggapan kalian tentunya juga beragam, ada yang panik, stress, pura-pura enggak tahu, bahkan ada juga yang sok cool, dan pura-pura tenang. Enggak masalah bagi saya, semua itu hak kalian dan wajar bagi semua makhluk hidup yang bernama manusia.

Walau begitu, bukan berarti beragam tanggapan itu harus dipelihara layaknya memelihara sapi perah yang susunya siap diambil ketika tiba waktunya. Tidak! Mulai sekarang kalian harus bisa berubah. Layaknya padi hijau, berubah menjadi padi kuning yang siap mengenyangkan perut-perut lapar.

Tanamkanlah ke dalam benak kalian bahwa pandemi ini bukan saja urusan pemerintah, tapi juga urusan kalian. Sekarang bukan waktunya untuk berpangku tangan pada pejabat di istana, itu tak bijaksana. 

Mulai sekarang, rekatkanlah tangan kalian. Pegang erat satu tangan dengan tangan lain, jangan sampai terlepas. Karena dengan begitu, kalian akan merasakan betapa indahnya rasa persatuan.

Kalian akan belajar arti kepedulian tidak hanya sekedar berbagi angan lewat mulut-mulut, tetapi tangan-tangan kalian akan berlomba berada di atas daripada hanya sekadar mengulurkan tangan untuk meminta-minta. Hati kalian akan mencapai puncak cinta dengan  mengorbankan harta dan jiwa demi mendapat secercah senyuman dari anak-anak kecil  korban pandemi. 

Harta kalian akan abadi di mata semesta, meski yang kalian tolong menemui maut di penghujung senja. Ingat semua tak akan sia-sia! Semesta akan membalas budi kalian kepada sesama.

Wahai rakyat Indonesia, apabila kalian ditakdirkan menemui maut janganlah menjumpainya dalam keadaan konyol semi bunuh diri tanpa mengindahkan himbauan dari pemerintah. 

Kalian melakukan reuni, kumpul massa, dan kongkow dengan dalih urusan nyawa berada di tangan Tuhan adalah kebodohan nyata. Itu tak ubahnya seperti masyarakat jabariyah yang pasrah tanpa usaha namun mengatas namakan Tuhan. Sibuk menyalahkan-Nya, namun tak mau berusaha. Hanya pasrah seperti wayang yang digerakkan ke sana ke mari oleh seorang dalang.

Biarkan yang keluar hanya pekerja harian. Biarkan mereka menyelamatkan roda ekonomi dengan mengorbankan nyawa. Jangan rendahkan mereka karena tak patuh dengan himbauan pemerintah, mereka adalah pengecualian. 

Mereka bukan pekerja kantoran yang setiap bulannya dipenuhi lembaran uang merah di kantong saku. Mereka hanyalah buruh ekonomi yang tak sadar bahwa sebenarnya mereka adalah pahlawan bagi pajak negara. 

Kalian yang merupakan pekerja kantor, lakukanlah social distancing, jaga jarak dengan orang lain, namun bila terpaksa harus keluar rumah dan menemui orang lain. Jagalah kebersihan badan dan lingkungan sekitar. Tak perlu menunggu mati untuk sadar akan pentingnya hidup bersih karena harga nyawa tak bisa dibeli dengan tumpukan emas maupun gunungan uang. 

Nyawa bukan barang jualan yang bisa dibeli sesuka hati, karena tak ada produsen dan konsumen. Nyawa adalah titipan Ilahi untuk dijaga agar jangan sampai dilukai walau dengan setitik debu yang dicipratkan ke mata.

Hargailah para dokter yang sedang bekerja dengan memegang teguh kata stay at home. Rumah sakit sudah penuh dengan pasien positif corona, jangan tambahi beban mereka dengan sakit yang kalian buat.

"Biarkan kami yang berjuang di rumah sakit, dan kalian berjuang di rumah."

Maraknya berita penolakan jenazah yang mati karena positif corona membuat semua pasien stress. Mereka sudah sakit dan meninggal, namun tak tahu harus dikubur di mana. Sebagai dokter, berita ini membuat saya khawatir.

Saat ini saya sedang berada di ruang isolasi karena kemungkinan positif corona. Saya tak perlu mendapat predikat sebagai pahlawan gugur atau semacamnya jika saya ditakdirkan mati. Cukuplah saya mendapat tempat terakhir yang layak karena telah mencoba segenap upaya menyelamatkan nyawa seorang manusia. 

Jika kalian tolak jenazah saya, betapa sedihnya hati. Diasingkan masyarakat karena sakit, ditolak bumi dan dianggap menyebar virus lewat udara. Tak perlu khawatir, virus ini akan pergi sama halnya ketika saya pergi meninggalkan dunia. Biarkan saya mati dengan damai...

Satu halaman kertas telah penuh, ia lipat menjadi tiga bagian lalu ia masukkan ke dalam amplop putih pemberian suster Mei. Setelah selesai menulis, Reza begitu puas dan lega. Semua beban telah ia sampaikan lewat secarik kertas.

"Pesan ini siap disampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, dan kini aku siap mati."

Ia tersenyum seraya menatap atap kamar. Warna yang kelak akan mendampinginya jika ia ditakdirkan untuk mati.

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun