"Untuk siapa dok?" Tanya suster Mei tak paham.
"Untuk saya."
"Tapi dok..."
"Segera persiapkan, jangan sampai kalian tertular karena saya."
Suster Mei setengah tak percaya bahwa dokter Reza akan mengisolasi dirinya sendiri meski belum dinyatakan positif corona. Badannya terasa kaku, namun entah mendapat kekuatan dari mana, seakan ia terdorong oleh sesuatu yang membuatnya setengah berlari menyiapkan ruangan isolasi. Mata sipitnya mengeluarkan air mata, tak menyangka rekan sekaligus sahabat baiknya akan berakhir di ruang isolasi.
Reza bergegas menuju ke ruang isolas. Ia hubungi keluarga di rumah bahwa dalam waktu beberapa hari kedepan atau mungkin lebih tak bisa pulang ke rumah. Suara isak tangis isterinya begitu menyayat hati, namun apa daya dikata jika ia tak segera mengisolasi diri, akibat fatal akan membahayakan orang-orang sekitar.
"Enggak apa-apa. Aku akan segera pulang, kamu baik-baik ya di rumah?"Â
*****
Tiga hari lamanya Reza mendekam di sebuah ruangan. Terasa pengap, meski sebenarnya ruangan itu begitu bersih, wangi, dan sejuk. Dadanya perlahan sesak, suhu badannya semakin meninggi. Ia merasa demam tinggi, kepalanya serasa berputar mengelilingi matahari dengan cepat.
Tak lama seorang dokter memeriksa keadaan Reza, suster Mei memasang infus ditangan kirinya. Sambil meringis menahan rasa sakit, Reza meminta dibawakan secarik kertas, amplop dan bolpoin, serta alas untuk menulis kepada suster Mei.
Suster Mei kembali ke ruangan Reza, membawa barang yang dimintanya.