Menurut bapak Sidqi Sarifudin, S.H. selaku Kasi Kesra Desa Alasmalang. Kala itu, wabah yang melanda Desa Alasmalang tidak bisa disembuhkan, meskipun dengan kekuatan dari manusia, ilmu dalam bahkan tabib sekalipun. Apabila seseorang terkena penyakit tersebut pada malam hari, keesokan paginya dia akan meninggal dunia. Selain wangsit "bersih desa" tersebut, Buyut Karti juga meminta untuk para petani menjelma seperti hewan kerbau. Hingga akhirnya upacara tersebut menjadi sebuah kebiasaan daan dianggap sebagai kearifan lokal di Desa Alasmalang ini.[8]
Â
Ritual adat ini sudah berlangsung sejak era penjajahan kolonialisme, yaitu sekitar kurang lebih tiga ratus tahun lamanya, abad ke 18.[9] Tujuan ritual kebo --keboan untuk menunjukan rasa syukur kepada sang pencipta, karena telah memberikan kenikmatan, berupa kemakmuran dan kecukupan pangan lewat pertanian. Ada yang berpendapat bahwa keberadaan ritual ini bertujuan untuk tolak bala. Hal tersebut tidak disalahkan oleh Kasi Kesra Desa Alasmalang tersebut. Karena pada waktu itu daerah Alasmalang mengalami paceklik, mulai dari gagal panen, hingga wabah penyakit yang melanda.Â
Â
Upacara adat ini dilakukan pada awal bulan Suro penanggalan Jawa, bulan Muharrom penanggalan Hijriah, dan satu kali setahun. Dengan beberapa beberapa kegiatan yang dilakukan, yang diantaranya:
Â
- Selametan pada sore hari pada satu hari sebelum acara inti dimulai yaitu, slametan di perempatan Desa Alasmalang, pembaca dapat melewati perempatan tersebut dengan ciri terdapat patung "kebo-keboan" ditengah perempatan tersebut.
- Â
- Pada malam hari selesai Isya sampai Subuh para tetua Desa diikuti oleh perwakilan dari warga Dusun Krajan melakukan ritual atau acara slametan di empat penjuru dari Desa Alasmalang, yang mana empat penjuru tersebut dipercaya sebagai penjaga dari Desa Alasmalang tersebut. Empat penjuru tersebut ialah, Watu Loso sebagai penjaga arah mata angin lor (utara), untuk arah mata angin kulon (barat) ditempati oleh Watu Gajah, dan untuk arah mata angin wetan (timur) di situ ada Watu Tumpeng, serta untuk arah mata angin kidul (selatan), tidak diketahui tempatnya (narasumber tidak memberitahu penulis dimana lokasinya berada dan juga nama tempatnya).
- Â
- Keesokan harinya, para tetua, warga Desa, hingga Bupati Banyuwangi, melakukan selametan bersih desa,, yang dilakukan disepanjang jalan di Dusun Krajan tempat acara tersebut digelarr.[10]
Â
 Setelah semua serangkaian acara tersebut terlaksana, sampai pada acara inti dari pagelaran upacara adat ritual Kebo-Keboan di Desa Alasmalang. Dipimpin oleh tokoh adat setempat, 15 pasang manusia kerbau yang berangotakan para laki laki. Kemudian diarak mengelilingi empat penjuru desa dengan diiringi alunan musik tradisonal khas dari suku Osing. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi.[11] Namun sebelumnya, pawang dari kerbau jadi jadian tersebut, memberikan tempung tawar agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan pada si kerbau jadi jadian tersebut. Kemudian ada perempuan yang belum menikah sebagai Dewi Sri yaitu Dewi kemakmuran.[12]
Â
Ritual ini diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi. Benih padi ini diyakini menghasilkan hasil panen yang lebih berlimpah, sehingga warga menjadi berebutan hanya untuk mendapatkan benih padi tersebut. Tak heran warga yang nekat untuk mengambil benih padi tersebut akan kejar kejaran dengan sih kerbau jadi jadian tersebut. Jika warga tersebut tertangkap oleh si kerbau maka tubuh warga tersebut akan dibenamkan ke sawah oleh si kerbau. Justru hal inilah yang dinantikan para warga di Desa Alasmalang pada khususnya. Benih dari hasil ritual ini diyakini tahan hama dan bisa menghasilkan panen berlimpah, terang Sidqi, seorang Kasi Kesra dari Desa Alasmalang.[13]
Â