Mohon tunggu...
Achmad Thoriq
Achmad Thoriq Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Homosapien Bertipe Malayan Mongoloid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Adat Osing "Kebo-keboan" Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi Tahun 2022

19 Juni 2022   10:55 Diperbarui: 19 Juni 2022   11:08 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi Adat Osing "Kebo-Keboan" Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi Tahun 2022

Achmad Thoriq

(204104040014)

Abstrak

Didalam suatu lingkup masyarakat pasti ada kesenian, didalam kesenian pasti ada pihak dari masyarakat, masyarakat dengan kesenian pasti tidak akan pernah bisa dilepaskan. Kesenian juga merupakan bagian yang penting didalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kebudayaan yang bersifat kreatif. Maka dari itulah antara masyarakat, kesenian, dan kebudayaan mereka tidak akan pernah terlepaskan. 

Kesenian sering sekali disinonimkan dengan kebudayaan, padahal kesenianlah yang merupakan bagian dari kebudayaan.Dalam artikel penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif berupa metode penelitian etnografi dan mengambil disumber berupa literatur. 

Serta dapat dijelaskan bahwa aertikel penelitian ini menggunakan dua metode yakni, library research dan field research. Banyuwangi merupakan salah satu daerah  Jawa Timur yang budayanya masih kental sampai sekarang. Masyarakat Banyuwangi masih tetap melakukan dan melestarikannya. 

Salah satu budaya di Banyuwangi adalah kebo -- keboan. Ritual budaya ini berada di dua daerah atau dua desa yang berbeda, yaitu di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh dan Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi. Awal mula diadakannya ritual adat ini. Dahulu Desa Alasmalang mengalami paceklik baik dari gagal panen dan juga wabah penyakit yang melanda. Di Alasmalang terdapat orang yang lanjut usia yaitu mbah Buyut Karti. 

Beliau mendapatkan wangsit untuk menggelar dan juga mengadakan acara "bersih desa", dengan adanya hal tersebut diharapkan dapat menyembuhkan wabah penyakit dan juga paceklik yang melanda Desa Alasmalang.

Upacara kebo-keboan merupakan salah satu cara agar kerukunan masyarakat dapat tercipta dan selalu erat, tidak hanya itu dalam upacara kebo-keboan juga salah satu kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada sang kuasa, karena upacara ini adalah perwujudtan dari rasa syukur atas nikmat yang Tuhan berikan kepada kita.

Kata kunci: tradisi, nilai, makna, adat, budaya, kesenian, Kebo-keboan

  • LATAR BELAKANG

Kesenian adalah salah satu isi dari kebudayaan manusia secara umum, karena dalam berkesenian merupakan cerminan dari suatu bentuk peradaban yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginan dan cita cita yang berpedoman kepada nilai nilai yang berlaku dan dilakukan dalam bentuk aktifitas berkesenian, sehingga masyarakat mengetahui bentuk kesenianya.[1]

 

Didalam suatu lingkup masyarakat pasti ada kesenian, didalam kesenian pasti ada pihak dari masyarakat, masyarakat dengan kesenian pasti tidak akan pernah bisa dilepaskan. Kesenian juga merupakan bagian yang penting didalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kebudayaan yang bersifat kreatif. Maka dari itulah antara masyarakat, kesenian, dan kebudayaan mereka tidak akan pernah terlepaskan. Kesenian sering sekali disinonimkan dengan kebudayaan, padahal kesenianlah yang merupakan bagian dari kebudayaan.[2]

 

Dalam kehidupan manusia disuatu tempat, tidak akan pernah lepas dengan namanya kebudayaan, kebudayaan berasal dari kata "budaya" yang berarti pikiran atau akal budi[3], sedangkan arti dari kebudayaan itu sendiri yaitu hasil kegiatan maupun penciptaan  akal budi manusia yang merujuk kepada kesenian, kepercayaan, adat istiadat. 

Budaya ini sendiri juga dapat berfungsi sebagai ciri khas ataupun identitas suatu masyarakat. Kebudayaan juga memiliki arti seluruh sistem gagasan, rassa, dan tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat[4].

 

Pengertian kebudayaan secara umum memiliki beraneka ragam arti, secara garis besar budaya ini sendiri memiliki arti yaitu cara hidup kelompok masyarakat tertentu, dan disepakati bersama didalam kelompok tersebut serta terbentuk dari beberapa unsur yang menyeluruh. 

Meskipun tidak terdapat aturan tertulis, budaya ini dapat bersifat memaksa, ini dikarenakan dapat memberikan sebuah pedoman untuk berperilaku supaya kehidupan lebih bermartabat dan juga bersahaja. Menurut C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davies, A. Hoebel bahwa kebudayaan adalah, sebuah tindakan yang harus dibiasakan dengan adanya proses belajar didalamnya.[5]

 

Kebudayaan merupakan hasil karya dari manusia, yang mencangkup banyak aspek kehidupan didalamnya, seperti aspek keyakinan, hukum, moral dan lain sebagainya[6]. Kehadiran kebudayaan ini mampu mempengaruhi pengetahuan, gagasan, danide seorang manusia, meskipun didalam budaya itu sendiri masih bersifat abstrak.

 

Kebudayaan ini tidak dapat semata mata turun secara biologis, melainkan ada proses belajar didalamnya, adanya proses belajar itulah yang menyebabkan kebudayaan tidak bisa turun dengan faktor biologis. Kebudayaan ini hanya dapat dimiliki oleh masyarakat manusia yang didukung dan diteruskan/dilestarikan oleh manusia itu sendiri sebagai anggota masyrakat di dalam suatu tempat.

 

  • METODE

 

Dalam artikel penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif berupa metode penelitian etnografi dan mengambil disumber berupa literatur. 

Dengan menggunakannya metode tersebut, diharapkan memiliki tujuan untuk mengkaji secara historis dan mencari makna, serta bersifat apaadanya dan juga bisa setranparan mungkin. 

Didalam artikel ini data yang dikumpulkan berupa library research, terutama pada penjelasan yang dirasa tidak terdapat didalam metode wawancara, serta dengan menggunakan metode ini diharapkan menjadi bahan pelengkap dalam pembuatan artikel ini. Yang kedua yakni menggunakan field research atau metode penelitian lapangan, dalam penelitian lapangan penulis mengujungi langsung tempat diselegarakanya tradisi atau kebudayaan tersebut, serta penulis mencari sumber informasi pada narasumber. 

Dalam wawancara juga diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni: wawancara mendalam dan wawancara biasa. Wawancara mendalam dilakukan terhadap tokoh tokoh penting dalam desa tersebut, yaitu berupa wawancara kepada Kasi Kesra Desa Alasmalang dan wawancara ini bersifat formal, serta penulis menyiapkan pertanyaan pertanyaan sebelum dilontarkan kepada narasumber. 

Yang kedua yakni, wawancara biasa, target dalam wawancara ini ialah warga sekitar, dalam wawancara ini menggunakan teknik wawancara etnografi, yang lebih bersifat santai. Pemilihan tekni etnografi juga bukan tapa alasan, melainkan agar narasumber tidak kaku dalam menjawab pertanyaan dan lebih terbuka kepada peneliti.

 

  • HASIL PEMBAHASAN

 

Banyuwangi memiliki banyak budaya yang sampai sekarang di lestarikan, budaya tersebut kebanyakan berasal dari suku Osing yang tinggal di Banyuwangi. Salah satu budaya suku Osing adalah kebo-keboan.  Adapun nilai -- nilai budaya Osing. Satu, tepo seliro merupakan sikap saling menghargai satu sama lain, sehingga masayarakat yang berada dilingkungan tersebut merasa tentram dan Aman. Dua, mawas diri merupakan tindakan seseorang untuk menahan diri memberikan suatu  komentar terhadap orang lain, sebelum dia mengintropeksi dirinya. Tiga, gesah, melabot dan kebersamaan. 

Suatu kebiasaan suku Osing, makna dari gesah ialah ketika bertemu mengobrol bersama.  Melabot merupakan seseorang ikut berpartisipasi dalam sebuah acara orang lain tanpa peduli imbalan. Sedangkan kebersamaan, ketika orang lain mempunyai sebuah acara tetapi tidak datang, otomatis dia akan merasa malu sampai akhirnya jarang berinteraksi.

 

Empat, sungkan. Sungkan merasa tidak enak untuk bertindak didepan orang lain, dan menimbulkan perasaan sesuai atau tidak ketika melakukan suatu tindakan. Lima tidak menyalahkan sekitar, tentang perbuatan buruk, perilaku buruk orang lain, tidak akan menyalahkan masyarakat sekitarnya baik dari keluarga, dan teman -- temannya. Enam ada kualat, karma dan sopo nandur ngunduh. Masyarakat merasa tidak akan melakukan perbuatan yang bukan kebiasaan suku Osing, karena takut hal tersebut terjadi. Istilah sopo nandur ngunduh merupakan perbuatan seseorang akan ada dampaknya.

 

Tujuh, weluri merupakan sebuah pesan moral yang harus menjaga budayanya dari generasi sebelumnya ke generasi seterusnya, sampai sekarang masih dilakukan. Delapan, disiden ialah tidak mempermasalahkan suatu masalah baik masalah kecil dan besar. Sehingga masyarakat Osing berusaha untuk tidak membuat masalah. Sembilan, rapalan berupa  bacaan untuk keadaan seseorang, bacaanya tergantung tingkat keilmuan dari bacaan tersebut. Sepuluh, selametan, selametan adalah sebuah acara untuk menunjukkan rasa syukur.[7]

 

Banyuwangi merupakan salah satu daerah Jawa Timur yang budayanya masih kental sampai sekarang. Masyarakat Banyuwangi masih tetap melakukan dan melestarikannya. Salah satu budaya di Banyuwangi adalah kebo -- keboan. Ritual budaya ini berada di dua daerah atau dua desa yang berbeda, yaitu di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh dan Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi.

 

Awal mula diadakannya ritual adat ini. Dahulu Desa Alasmalang mengalami paceklik baik dari gagal panen dan juga wabah penyakit yang melanda. Di Alasmalang terdapat orang yang lanjut usia yaitu mbah Buyut Karti. Beliau mendapatkan wangsit untuk menggelar dan juga mengadakan acara "bersih desa", dengan adanya hal tersebut diharapkan dapat menyembuhkan wabah penyakit dan juga paceklik yang melanda Desa Alasmalang.

 

 Menurut bapak Sidqi Sarifudin, S.H. selaku Kasi Kesra Desa Alasmalang. Kala itu, wabah yang melanda Desa Alasmalang tidak bisa disembuhkan, meskipun dengan kekuatan dari manusia, ilmu dalam bahkan tabib sekalipun. Apabila seseorang terkena penyakit tersebut pada malam hari, keesokan paginya dia akan meninggal dunia. Selain wangsit "bersih desa" tersebut, Buyut Karti juga meminta untuk para petani menjelma seperti hewan kerbau. Hingga akhirnya upacara tersebut menjadi sebuah kebiasaan daan dianggap sebagai kearifan lokal di Desa Alasmalang ini.[8]

 

Ritual adat ini sudah berlangsung sejak era penjajahan kolonialisme, yaitu sekitar kurang lebih tiga ratus tahun lamanya, abad ke 18.[9] Tujuan ritual kebo --keboan untuk menunjukan rasa syukur kepada sang pencipta, karena telah memberikan kenikmatan, berupa kemakmuran dan kecukupan pangan lewat pertanian. Ada yang berpendapat bahwa keberadaan ritual ini bertujuan untuk tolak bala. Hal tersebut tidak disalahkan oleh Kasi Kesra Desa Alasmalang tersebut. Karena pada waktu itu daerah Alasmalang mengalami paceklik, mulai dari gagal panen, hingga wabah penyakit yang melanda. 

 

Upacara adat ini dilakukan pada awal bulan Suro penanggalan Jawa, bulan Muharrom penanggalan Hijriah, dan satu kali setahun. Dengan beberapa beberapa kegiatan yang dilakukan, yang diantaranya:

 

  • Selametan pada sore hari pada satu hari sebelum acara inti dimulai yaitu, slametan di perempatan Desa Alasmalang, pembaca dapat melewati perempatan tersebut dengan ciri terdapat patung "kebo-keboan" ditengah perempatan tersebut.
  •  
  • Pada malam hari selesai Isya sampai Subuh para tetua Desa diikuti oleh perwakilan dari warga Dusun Krajan melakukan ritual atau acara slametan di empat penjuru dari Desa Alasmalang, yang mana empat penjuru tersebut dipercaya sebagai penjaga dari Desa Alasmalang tersebut. Empat penjuru tersebut ialah, Watu Loso sebagai penjaga arah mata angin lor (utara), untuk arah mata angin kulon (barat) ditempati oleh Watu Gajah, dan untuk arah mata angin wetan (timur) di situ ada Watu Tumpeng, serta untuk arah mata angin kidul (selatan), tidak diketahui tempatnya (narasumber tidak memberitahu penulis dimana lokasinya berada dan juga nama tempatnya).
  •  
  • Keesokan harinya, para tetua, warga Desa, hingga Bupati Banyuwangi, melakukan selametan bersih desa,, yang dilakukan disepanjang jalan di Dusun Krajan tempat acara tersebut digelarr.[10]

 

 Setelah semua serangkaian acara tersebut terlaksana, sampai pada acara inti dari pagelaran upacara adat ritual Kebo-Keboan di Desa Alasmalang. Dipimpin oleh tokoh adat setempat, 15 pasang manusia kerbau yang berangotakan para laki laki. Kemudian diarak mengelilingi empat penjuru desa dengan diiringi alunan musik tradisonal khas dari suku Osing. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi.[11] Namun sebelumnya, pawang dari kerbau jadi jadian tersebut, memberikan tempung tawar agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan pada si kerbau jadi jadian tersebut. Kemudian ada perempuan yang belum menikah sebagai Dewi Sri yaitu Dewi kemakmuran.[12]

 

Ritual ini diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi. Benih padi ini diyakini menghasilkan hasil panen yang lebih berlimpah, sehingga warga menjadi berebutan hanya untuk mendapatkan benih padi tersebut. Tak heran warga yang nekat untuk mengambil benih padi tersebut akan kejar kejaran dengan sih kerbau jadi jadian tersebut. Jika warga tersebut tertangkap oleh si kerbau maka tubuh warga tersebut akan dibenamkan ke sawah oleh si kerbau. Justru hal inilah yang dinantikan para warga di Desa Alasmalang pada khususnya. Benih dari hasil ritual ini diyakini tahan hama dan bisa menghasilkan panen berlimpah, terang Sidqi, seorang Kasi Kesra dari Desa Alasmalang.[13]

 

Hal tersebut masih dilaksanakan di Desa Alasmalang hingga sekarang, tetapi sayangnya tahun kemarin ritual adat ini ditiadakan, karena adanya wabah virus Covid-19 yang masih melanda. Demi alasan keamanan dan juga kesehatan maka ritual adat ini pun ditiadakan untuk sementara, sampai kondisi membaik.

 

Makna dari tradisi kebo-keboan masih berhubungan dengan ajaran hindu-budha karena dalam kitab Purana tokoh Dewi Durga digambarkan sebagai sosok yang memiliki tangan delapan, tangan kanannya berjumlah 4 dan memegang cakra berapi, sara dan juga seekor kerbau. Tangan kirinya berjumlah 4 dan memegang sangkha, 2 pasa dan juga rambut asura, dimana tangan kanan tersebut melambangkan kebaikan atau dapat diartikan sebagai penguasa dari tanaman dan kesuburan, hal ini dilambangkan dengan seekor kerbau atau Sang hyang Naandhini. Tangan kiri sebagai lambang angkara murka, pembinasa asura dan penguasa berbagai penyakit menular. Oleh sebab itu kebo-keboan masih berkaitan erat dengan kerajaan Blambangan karena kerbau sebagai simbol kebaikan bagi rakyat lebih khususnya bidang pertanian.

 

Adapun nilai-nilai dalam upacara Kebo-Keboan. Pertama nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota warga dalam sesuatu tempat, makan bersama serta doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini merupakan bentuk kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya( dalam makna luas). Oleh sebab itu, upacara ini memiliki pula nilai kebersamaan. Dalam perihal ini, kebersamaan selaku komunitas yang memiliki daerah, adat- istiadat serta budaya yang sama. Kedua, nilai ketelitian[14] tercermin dari proses upacara itu sendiri. Selaku sesuatu proses, upacara membutuhkan persiapan, baik saat sebelum upacara, pada dikala prosesi, ataupun sesudahnya. Persiapan- persiapan itu, tidak cuma menyangkut perlengkapan upacara, namun pula tempat, waktu, pemimpin, serta partisipan. Seluruhnya itu wajib dipersiapkan dengan baik serta seksama, sehingga upacara bisa berjalan dengan mudah. Buat itu, diperlukan ketelitian.

 

Ketiga, nilai kegotong- royongan tercermin dari keterlibatan bermacam pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka silih bantu demi terlaksananya upacara. Dalam perihal ini terdapat yang menolong mempersiapkan santapan serta minuman, jadi pemimpin upacara, serta lain sebagainya. Keempat, nilai religius tercermin dalam doa bersama yang diperuntukan kepada Tuhan supaya menemukan proteksi, keselataman serta kesejahteraan dalam menempuh kehidupan.

 

  • KESIMPULAN

 

Dalam hal ini upacara kebo-keboan merupakan salah satu upacara yang sangat unik, dimana hewan kerbau yang biasanya di anggap tidak begitu penting dan hanya sekedar hewan yang membantu petani dalam mengolah sawah, namun dalam upacara ini kerbau di anggap hewan yang sakral dan penting karena jasanya dalam membantu petani mengolah sawah, karena kerbau pekerjaan petani menjadi lebih ringan dan mudah. Tidak hanya itu dalam upacara ini juga menggambarkan bahwa pekerjaan petani merupakan pekerjaan yang penting, melihat negara Indonesia merupakan negara agraris dimana petani adalah aspek yang paling berkontribusi, maka dalam upacara kebo-keboan ini adalah salah satu bentuk apresiasi atas kerja keras petani selama ini hingga membuahkan hasil yang melimpah. Selain itu upacara kebo-keboan merupakan salah satu cara agar kerukunan masyarakat dapat tercipta dan selalu erat, tidak hanya itu dalam upacara kebo-keboan juga salah satu kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada sang kuasa, karena upacara ini adalah perwujudtan dari rasa syukur atas nikmat yang Tuhan berikan kepada kita.

 

Dalam mencintai negara kita harus belajar budanya terlebih dahulu, karena budaya merupakan aspek yang paling mendasar yang mampu membuat kita semakin mengenal negara, salah satuc ontohnya adalah belajar tradisi kebo-keboan ini, semakin memahami tradisi kebo-keboan kita semakin paham tentang budaya, cara bersyukur dan menghargai setiap pekerjaan manusia. Diharapkan artikel ini dapat menjadi referensi bagi para pembaca mengenai tradisi Kebo-keboan yang ada di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi, dan juga dapat mengenalkan budaya Kebo-keboan kepada daerah lain.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Efendi , Wildan., Siswo Martono, dan Dhika Y. Yurisma. Perancangan Buku Fotografi Esai Upacara Adat Kebo-Keboan Desa Alasmalang Sebagai Upaya Mengenalkan Kebudayaan Banyuwangi. Surabaya: STIKOM, 2017

 

Hanafi, Husni, Nur Hidayah, Andi Mappiare AT. Adopsi Nilai Budaya Osing dalam Kerangka Objektivitas Meaning of Life. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan. Volume: 3 Nomor: 9 Bulan September  2018. Hlm. 1237---1243.

 

Kholil, Ahmad. Kebo-Keboan dan Ider Bumi Suku Using: Potret Inklusivisme Islam di Masyarakat Using Banyuwangi, diakses pada tanggal 15 juni 2021.

 

Koentjoraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 2003

 

Netrirosa, Arifni, "Pemeliharaan Kehidupan Budaya Kesenian Tradisonal dalam Pembangunan Nasional",   e-USU Repository Universitas Sumatera Utara, ( Maret 2005): 1-8. https://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1675

Pemkab Banyuwangi. (2011). Kebo -- Keboan Alasmalang, Ucapan Rasa Syukur dan Ritual Tolak Bala.https://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/kebo-keboan-alas-malang-ucapan-rasa-syukur-dan-ritual-tolak-bala.html.

Sidqi Sarifudin, S.H, diwaancarai oleh Penulis, Banyuwangi 11 Juni 2022

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu PengantarCetakan ke-37. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Takari, Muhammad., Frida Deliana, Torang N. Fadlin, Arifni Netriosa, dan Heristina Dewi. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia Kultura Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun