Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Patung Pasir

10 April 2018   04:56 Diperbarui: 10 April 2018   05:17 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
footage.framepool.com

SERUPA panggung teater, fajar membuka layar hitam. Matahari yang menyembul dari balik bukit karang senampak spot-light kekuningmasan. Cahayanya berpendar. Muntah di hamparan samudra. Buih-buih yang ditimbul-tenggelamkan gelombang tampak keputihperakan.

Keluar dari Kinasih Hotel, lelaki yang menggandeng kekasihnya turun ke pantai. Ia, Adam. Sedang perempuannya, Eva. Mereka yang tengah berbulan madu di pantai itu bukan sepasang manusia kutukan Tuhan dari Taman Eden berjuta tahun silam. Meski banyak orang mengira, kalau mereka adalah pesakitan di meja hijau Tuhan yang kembali dilahirkan di planit bumi.

Di pantai pasir putih, Adam menyaksikan hamparan samudra. Pada pandangan matanya, tertangkap jalan lurus menuju kaki cakrawala. Jalan itu serasa garis nasib yang harus dilalui bersama istrinya. Pada setiap mil jalan itu, tampak gapura. Tempat di mana mereka harus istirah sejenak untuk merenungkan apa yang diperolehnya.

"Apa yang kau saksikan, Dam?" Dengan nakal, Eva mengembangkan jari-jemarinya sebentuk kipas. Bergerak ke kiri ke kanan di depan suaminya. "Di sana tak ada kapal. Tak ada sekawanan camar yang melintas, sayang."

"Aku tengah menyaksikan masa depan kita."

"Masa depan kelam, karena kau menikahiku?"

"Bukan itu maksudku."

"Lantas?"

"Sudahlah, Va!" Adam mengusap lembut kening istrinya. "Mengapa hari-hari awal pernikahan kita harus dibuka dengan konflik picisan?"

"Tetapi...."

"Lupakan!" pinta Adam. "Aku akan memandang samudra yang selalu memberikan gelombangnya ke pantai. Aku akan memersembahkan sesuatu kepadamu. Tutup kedua tingkap matamu, manis!"

"Sesuatu yang tak ubahnya semalam. Seusai sepasang mata ini terpejam, kau merayap seperti ular yang akan memberikan kenikmatan khuldi?"

"Bukan itu yang akan aku persembahkan kepadamu."

"Lantas?"

"Bukankah kau bersedia aku nikahi sesudah lima tahun memujaku sebagai pematung? Bukankah kau suka patung?"

"Jadi?" Eva sejenak terdiam. "Kau akan membuatkanku patung?"

Adam mengangguk. Tertawa lepas tatkala menyaksikan istrinya yang sontak merentangkan kedua tangannya serupa sayap burung. Terbang melintasi bebunga bakung. Tidak jauh darinya.

"Wujudkan segera, Dam! Aku tak sabar. Bukankah mas kawin yang kau berikan padaku hanya layak datang dari manusia lumrah? Cincin emas pengikat jari. Kalung emas pengikat leher. Sesungguhnya aku kurang berkenan saat itu." Eva berteriak dari balik gerumbul pandan.

"Baik, sayang. Bergegaslah kemari!"

Eva berlari-lari kecil ke arah Adam. Berdiri di sampingnya. "Patung, mas kawin yang tak ternilai harganya. Bukan di depan penghulu, melainkan di hadapan Tuhan yang serasa hadir di antara kita. Sebagai saksi abadi."

"Demi kau, akan aku ciptakan satu patung lagi. Segera pejamkan matamu!"

"Seperti semalam?"

"Lebih rapat lagi. Persembahanku kali ini akan memberikan kenikmatan paling puncak."

Eva mengatupkan kedua tingkap matanya. Membiarkan wajahnya yang ranum pepaya terbakar matahari. Telinganya diistirahatkan atas desau angin, gedebur gelombang, dan celoteh orang-orang di pantai. Ia hanya mendengar gerakan tangan suaminya yang memahat patung pasir.

"Sekarang, buka matamu!"

"Sudah selesai?"

"Lihatlah!"

Eva membuka matanya. Betapa bahagia. Karena, paras patung itu seanggun zamrud. Tetapi, ia heran. Mengapa Adam tidak menandai dengan lingga atau yoni.

"Mengapa matamu terbaca aneh? Kau tak berkenan?"

"Aku suka."

"Lantas?"
"Patung ini laki atau perempuan?"

"Kau menghendaki berkelamin apa, Va? Kalau laki, akan aku letakkan lingga di bawah pusarnya. Kalau perempuan, akan aku tandai karya ini dengan yoni sebagai rahasianya."

"Aku suka laki. Agar ia serupa pelaut yang berani menerjemahkan badai dengan jiwa karang."

"Mengapa bukan perempuan?"

"Aku takut, ia akan menjadi pelacur. Atau sebagai anak durhaka yang tega merebut kekasih ibunya sendiri. Seperti kisah terburuk di Kota Gomorah."

"Bukankah laki-laki Sodom suka mengambil kaum sejenisnya sebagai istri. Membiarkan perempuan senasib boneka yang bercinta dengan kesenyapannya sendiri?"

Eva merasa disudutkan pada ruang persoalan simalakama. Kepalanya tersumbat sebongkah batu sebesar kepala gajah. Buntu. "Terserah padamu, Dam! Akan kau jadikan apa patung ini. Baik adanya bagiku."

"Bagaimana kalau aku ciptakan satu patung lagi? Biarkan patung yang pertama ini berkodrat lelaki. Sedang patung kedua berkodrat perempuan. Bukankah Tuhan mencipta perempuan dari tulang rusuk lelaki?"

"Itu ide brilian. Aku sepakat." Eva mengecup pipi suaminya dengan manja. "Apakah aku harus memejamkan mata lagi?"

"Tidak perlu!"

"Mengapa?"

"Karena kau harus menyaksikan peristiwa paling berharga yang segera aku tunjukkan padamu. Saksikan dengan mata dan sepenuh jiwamu!"

Eva bersimpuh di depan suaminya. Urjung rambutnya yang panjang bergerai hampir menyentuh pasir. Menambah keanggunannya sebagai calon ibu yang bakal melahirkan anak-anak Adam. Di planit bumi yang kabarnya kian kejam.

Dengan penuh penghayatan, Adam menggenggam pasir. Meletakkannya di bawah pusar patung itu. Memahatnya menjadi lingga. Lalu ia menumpuk-numpuk pasir di samping patung pertama. Menciptakan patung baru, lengkap dengan yoninya. "Nah.... Selesailah sekarang."

"Betapa sempurna kedua patung ini. Aku menyukainya."

"Aku pun demikian."

Sekejap kemudian, Adam dan Eva saling bertatapan. Bagi Adam, cinta di mata kekasihnya senampak bintang Panjer Esuk yang selalu mengingatkannya pulang seusai lelah berlayar. Di mata Eva, pandangan Adam mencerminkan kesetiaan serupa samudra yang menggedeburkan gelombangnya ke pantai.

Adam dan Eva erat berdekapan. Tak lama kemudian, mereka terkesima. Sepasang patung itu terkoyak gelombang yang ganas.

Air mata Eva meleleh di pipi yang berteksturkan butiran pasir. Lantaran, dada kedua patung itu merongga sangat dalam serupa mulut gua. Tanpa seapel hati, meski bagian tubuh yang lain tetap utuh. "Edan!"

Adam perlahan-lahan berdiri. Jauh menatap samudra. Di mana jalan yang di kiri-kanannya terdapat gapura-gapura menjulang sampai menggapai ketiak langit. Jalan di mana anak-anaknya akan menapakinya menuju batas cakrawala. Tanpa hati. Tanpa matahari. Sepekat senja yang berpayungkan awan.

-Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun