SERUPA panggung teater, fajar membuka layar hitam. Matahari yang menyembul dari balik bukit karang senampak spot-light kekuningmasan. Cahayanya berpendar. Muntah di hamparan samudra. Buih-buih yang ditimbul-tenggelamkan gelombang tampak keputihperakan.
Keluar dari Kinasih Hotel, lelaki yang menggandeng kekasihnya turun ke pantai. Ia, Adam. Sedang perempuannya, Eva. Mereka yang tengah berbulan madu di pantai itu bukan sepasang manusia kutukan Tuhan dari Taman Eden berjuta tahun silam. Meski banyak orang mengira, kalau mereka adalah pesakitan di meja hijau Tuhan yang kembali dilahirkan di planit bumi.
Di pantai pasir putih, Adam menyaksikan hamparan samudra. Pada pandangan matanya, tertangkap jalan lurus menuju kaki cakrawala. Jalan itu serasa garis nasib yang harus dilalui bersama istrinya. Pada setiap mil jalan itu, tampak gapura. Tempat di mana mereka harus istirah sejenak untuk merenungkan apa yang diperolehnya.
"Apa yang kau saksikan, Dam?" Dengan nakal, Eva mengembangkan jari-jemarinya sebentuk kipas. Bergerak ke kiri ke kanan di depan suaminya. "Di sana tak ada kapal. Tak ada sekawanan camar yang melintas, sayang."
"Aku tengah menyaksikan masa depan kita."
"Masa depan kelam, karena kau menikahiku?"
"Bukan itu maksudku."
"Lantas?"
"Sudahlah, Va!" Adam mengusap lembut kening istrinya. "Mengapa hari-hari awal pernikahan kita harus dibuka dengan konflik picisan?"
"Tetapi...."
"Lupakan!" pinta Adam. "Aku akan memandang samudra yang selalu memberikan gelombangnya ke pantai. Aku akan memersembahkan sesuatu kepadamu. Tutup kedua tingkap matamu, manis!"