"Betapa sempurna kedua patung ini. Aku menyukainya."
"Aku pun demikian."
Sekejap kemudian, Adam dan Eva saling bertatapan. Bagi Adam, cinta di mata kekasihnya senampak bintang Panjer Esuk yang selalu mengingatkannya pulang seusai lelah berlayar. Di mata Eva, pandangan Adam mencerminkan kesetiaan serupa samudra yang menggedeburkan gelombangnya ke pantai.
Adam dan Eva erat berdekapan. Tak lama kemudian, mereka terkesima. Sepasang patung itu terkoyak gelombang yang ganas.
Air mata Eva meleleh di pipi yang berteksturkan butiran pasir. Lantaran, dada kedua patung itu merongga sangat dalam serupa mulut gua. Tanpa seapel hati, meski bagian tubuh yang lain tetap utuh. "Edan!"
Adam perlahan-lahan berdiri. Jauh menatap samudra. Di mana jalan yang di kiri-kanannya terdapat gapura-gapura menjulang sampai menggapai ketiak langit. Jalan di mana anak-anaknya akan menapakinya menuju batas cakrawala. Tanpa hati. Tanpa matahari. Sepekat senja yang berpayungkan awan.
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H